Saya ingat beberapa tahun lalu pernah membaca artikel mengenai seorang petinggi militer asal Sumatera Barat yang kecewa dengan banyak-nya kegagalan putra daerah menembus seleksi Akabri. Sebaliknya Sumatera Utara justru dikenal dengan tinggi-nya tingkat kelulusan seleksi yang sama. Usut punya usut kebudayaan Sumatera Barat memiliki peran disini, contoh jika ada seleksi dengan pengandaian sbb; "Jika Ayah anda terlibat gerakan separatis terhadap NKRI, apa yang anda lakukan ?" pemuda asal Sumatera Barat akan kesulitan menjawab ini sebaliknya pemuda Sumatera Utara akan dengan tegas menjawab "Aku tembak lah kalau tak menurut dia !".
Sikap berani dan cepat mengambil putusan sekaligus tidak takut kontroversi ini lah yang juga melatar belakangi kenapa orang Sumatera Utara banyak yang jadi tentara, supir bis malam atau bahkan copet. Sebaliknya pemuda Sumatera Barat cenderung menjadi pengusaha, ulama dan tokoh politik.
Namun Rais Abin yang lahir di Sumatera Barat, merupakan pengecualian, meski tidak begitu berkibar di lingkup nasional, namun dia justru menjadi panglima UNEF dan termasuk tokoh penting yang membidani lahirnya perjanjian Camp David. Pada masa lalu Camp David dinilai sangat signifikan bagi perdamaian di Middle East, meski pada masa kini terasa sia2 karena agresif-nya Israel dalam memperluas wilayah dan membangun perumahan baru. Sehingga terkesan Camp David cuma berhasil sebatas hubungan Mesir dan Israel, tidak lebih.
Lantas dimana hebat-nya beliau ? Indonesia sebagaimana yang kita ketahui adalah Negara yang masih tidak mengakui Israel, sementara sebagai panglima, posisi ini memerlukan tokoh yang bukan cuma disetujui PBB namun juga pihak2 yang bertikai seperti Israel dan Mesir. Beberapa tokoh sebelumnya gagal, namun Rais Abin dengan kemampuan militer-nya yang cakap dan kemampuan-nya berbahasa asing dapat menerima kepercayaan dari berbagai pihak dan menjadi panglima ribuan tentara dari berbagai negara.
Namun buku ini bukan cuma tentang Camp David, tetapi juga menyinggung perjalan karir Rais Abin, setelahnya-nya. Buku ini mengingatkan bahwa Indonesia punya peran penting di PBB dengan mencatatkan dua tokoh penting, yaitu Adam Malik dan Rais Abin yang selayak-nya menjadi inspirasi bagi bangsa Indonesia.
Rais Abin sempat menjadi asisten M.Jusuf selama beberapa waktu, sekembalinya dari Middle East. Dengan demikian Rais punya beberapa hal menarik terkait masa2 ini. Buku ini juga mengungkapkan bagaimana M.Jusuf yang saat itu sangat populer dan dekat dengan prajurit di seluruh Indonesia, pelan2 mulai tersingkir oleh Sudomo, karena M.Jusuf selalu ke lapangan sementara Sudomo mewakilinya dalam setiap rapat kabinet.
Soal M.Jusuf mengganti beberapa PANGDAM hanya karena mereka sedang tidak ditempat saat dia sidak, meski sedang cuti juga diungkap. Bagi M.Jusuf, seorang tentara tidak perlu cuti dan dia tidak bisa menerima bawahan-nya cuti meski situasi aman. Pada masa itu ada dua PANGDAM yang diganti karena tidak ada di tempat. Sidak model begini mengingatkan saya akan Jokowi.
Pada saat TNI membutuhkan helikopter, instruksi presiden berdasarkan masukan Habibie adalah menggunakan buatan dalam negeri. Namun M.Jusuf masih kuatir dengan kualitas produksi lokal, maka dia meminta saran Rais Abin. Sebutkan satu hal spesifik yang tidak ada dalam buatan dalam negeri yang sangat kita perlukan secara mendesak, kata Rais, dengan demikian kita bisa tetap membeli buatan luar. Membaca bagian ini membuat saya sedikit kecewa, di beberapa negara penggunaan produk dalam negeri merupakan hal yang umum, dengan demikian menghemat devisa dan meningkatkan kemampuan teknologi anak bangsa. IMHO, seharusnyalah TNI mendukung industri strategis nasional. Kekuatiran soal kualitas bisa diatasi dengan "testdrive" yang obyektif, sebagai masukan pengembangan produk.
Untuk kasus ini Rais berpikiran bahwa dia merasa sedikit janggal harus membeli rakitan dibanding membeli langsung dari luar, sementara Habibie mengatakan pesawat rakitan adalah bagian dari transfer teknologi sebelum bangsa kita mampu membuatnya sendiri.
"Perseteruan" Habibie dan TNI di masa itu juga terjadi saat Habibie ingin meminjam fasilitas angkatan laut untuk industri strategis PT PAL, lagi2 Rais memberi masukan pada M.Jusuf. Sepertinya Habibie dipandang militer sebagai "pengacau", namun posisi-nya yang langsung di bawah Soeharto membuat banyak pihak segan.
Saat menjadi duta besar, hal menarik lain-nya adalah saat Soeharto menegur Rais lewat Benny Moerdani, karena tidak mampu memenangkan Golkar di antara WNI Malaysia. Terlihat bagaimana Soeharto memaksakan mesin birokrasi untuk tunduk di bawah Golkar. Namun alih2 memberhentikan Rais, dia malah ditugaskan ke pos berikutnya sebagai Dubes di Singapura.
Sikap berani dan cepat mengambil putusan sekaligus tidak takut kontroversi ini lah yang juga melatar belakangi kenapa orang Sumatera Utara banyak yang jadi tentara, supir bis malam atau bahkan copet. Sebaliknya pemuda Sumatera Barat cenderung menjadi pengusaha, ulama dan tokoh politik.
Namun Rais Abin yang lahir di Sumatera Barat, merupakan pengecualian, meski tidak begitu berkibar di lingkup nasional, namun dia justru menjadi panglima UNEF dan termasuk tokoh penting yang membidani lahirnya perjanjian Camp David. Pada masa lalu Camp David dinilai sangat signifikan bagi perdamaian di Middle East, meski pada masa kini terasa sia2 karena agresif-nya Israel dalam memperluas wilayah dan membangun perumahan baru. Sehingga terkesan Camp David cuma berhasil sebatas hubungan Mesir dan Israel, tidak lebih.
Lantas dimana hebat-nya beliau ? Indonesia sebagaimana yang kita ketahui adalah Negara yang masih tidak mengakui Israel, sementara sebagai panglima, posisi ini memerlukan tokoh yang bukan cuma disetujui PBB namun juga pihak2 yang bertikai seperti Israel dan Mesir. Beberapa tokoh sebelumnya gagal, namun Rais Abin dengan kemampuan militer-nya yang cakap dan kemampuan-nya berbahasa asing dapat menerima kepercayaan dari berbagai pihak dan menjadi panglima ribuan tentara dari berbagai negara.
Namun buku ini bukan cuma tentang Camp David, tetapi juga menyinggung perjalan karir Rais Abin, setelahnya-nya. Buku ini mengingatkan bahwa Indonesia punya peran penting di PBB dengan mencatatkan dua tokoh penting, yaitu Adam Malik dan Rais Abin yang selayak-nya menjadi inspirasi bagi bangsa Indonesia.
Rais Abin sempat menjadi asisten M.Jusuf selama beberapa waktu, sekembalinya dari Middle East. Dengan demikian Rais punya beberapa hal menarik terkait masa2 ini. Buku ini juga mengungkapkan bagaimana M.Jusuf yang saat itu sangat populer dan dekat dengan prajurit di seluruh Indonesia, pelan2 mulai tersingkir oleh Sudomo, karena M.Jusuf selalu ke lapangan sementara Sudomo mewakilinya dalam setiap rapat kabinet.
Soal M.Jusuf mengganti beberapa PANGDAM hanya karena mereka sedang tidak ditempat saat dia sidak, meski sedang cuti juga diungkap. Bagi M.Jusuf, seorang tentara tidak perlu cuti dan dia tidak bisa menerima bawahan-nya cuti meski situasi aman. Pada masa itu ada dua PANGDAM yang diganti karena tidak ada di tempat. Sidak model begini mengingatkan saya akan Jokowi.
Pada saat TNI membutuhkan helikopter, instruksi presiden berdasarkan masukan Habibie adalah menggunakan buatan dalam negeri. Namun M.Jusuf masih kuatir dengan kualitas produksi lokal, maka dia meminta saran Rais Abin. Sebutkan satu hal spesifik yang tidak ada dalam buatan dalam negeri yang sangat kita perlukan secara mendesak, kata Rais, dengan demikian kita bisa tetap membeli buatan luar. Membaca bagian ini membuat saya sedikit kecewa, di beberapa negara penggunaan produk dalam negeri merupakan hal yang umum, dengan demikian menghemat devisa dan meningkatkan kemampuan teknologi anak bangsa. IMHO, seharusnyalah TNI mendukung industri strategis nasional. Kekuatiran soal kualitas bisa diatasi dengan "testdrive" yang obyektif, sebagai masukan pengembangan produk.
Untuk kasus ini Rais berpikiran bahwa dia merasa sedikit janggal harus membeli rakitan dibanding membeli langsung dari luar, sementara Habibie mengatakan pesawat rakitan adalah bagian dari transfer teknologi sebelum bangsa kita mampu membuatnya sendiri.
"Perseteruan" Habibie dan TNI di masa itu juga terjadi saat Habibie ingin meminjam fasilitas angkatan laut untuk industri strategis PT PAL, lagi2 Rais memberi masukan pada M.Jusuf. Sepertinya Habibie dipandang militer sebagai "pengacau", namun posisi-nya yang langsung di bawah Soeharto membuat banyak pihak segan.
Saat menjadi duta besar, hal menarik lain-nya adalah saat Soeharto menegur Rais lewat Benny Moerdani, karena tidak mampu memenangkan Golkar di antara WNI Malaysia. Terlihat bagaimana Soeharto memaksakan mesin birokrasi untuk tunduk di bawah Golkar. Namun alih2 memberhentikan Rais, dia malah ditugaskan ke pos berikutnya sebagai Dubes di Singapura.
No comments:
Post a Comment