Pengantar : Tulisan ini merupakan satu dari sekian tulisan almarhum Ayah saya Saiful Parmuhunan Pohan, yang telah berpulang di bulan Juli tahun 2002, namun tulisan-nya yang mengalir, dan penuh dengan ide masih sangat relevan dengan kekinian. Saya dedikasikan bagi almarhum semoga bermanfaat bagi kita yang masih hidup dan menjadi amal baik bagi-nya di alam sana. postingan kali ini sepertinya yang disorot Ayah saya, salah satunya adalah peristiwa sbb; Menurut berita-berita di media massa, Cak Narto, Jumat (22/9/1995), saat memberi ceramah kepada pelajar SLTA di Surabaya mengatakan, hendaknya wartawan tidak menulis berita yang menjelekkan Gubernur Basofi Sudirman. Ia juga siap dipecat demi membela gubernur. Dengan gaya Suroboyoan ia berujar, "Wani-wanine ambek gubernur. Wis atik wani ambek gubernur, ojok nang Suroboyo. Nyingkiro ae teko Suroboyo. Wani ambek wali kota ae sik tak sepuro. Atik wani ambek gubernur tak usir teko Surabaya" (Berani-beraninya sama gubernur, kalau berani sama gubernur jangan di Surabaya. Pergi saja dari Surabaya. Kalau sama wali kota saja saya maafkan. Kalau sama gubernur saya usir dari Surabaya).
Arek Suroboyo, terkenal elegan, jujur, tanpa tedeng aling aling, lincah dan pekerja keras. Tidak takut pada musuh tapi pantang cari lawan. Watak itu tergambar jelas pada walikotanya Cak Narto.
Jadi kita, khususnya para wartawan, tidak perlu kecewa atas ucapannya dan tidak sepantasnya menuntut permintaan maaf darinya atas “kejujuran” yang dilontarkannya.
Kesalahan satu-satunya terletak pada mekanisme yang ada yang memungkinkan munculnya pimpinan dengan kekuasaan seperti itu.
No comments:
Post a Comment