Sedan PATWAL berhenti didepan ku, dan PK langsung turun dengan pistol di tangan, meminta paksa STNK dan SIM serta memaki maki aku dengan kasar serta mengatakan tindakanku membahayakan nyawa DS, Gubernur Jawa Barat. Begitu dekat wajah-nya sehingga aku dapat merasakan percikan2 basah ludah-nya menyembur nyembur karena emosi. Wajahnya merah dan penuh dengan urat2 menonjol karena menahan amarah. Namun aku tetap bersikap tenang dan berusaha menjelaskan baik2. Lalu aku diminta berjalan ke sedan PATWAL, dan masih dengan emosi tinggi PK memukul2 tutup bagasi, namun aku tak marah, ya jelaslah, wong yang dia pukul bagasi sedan PATWAL-nya sendiri, sambil sekali lagi meminta SIM dan STNK. Sambil menyengir dan tersenyum-senyum kecil aku mengatakan “SIM dan STNK apa lagi pak ?, kan dua2nya ada di tangan kanan bapak”. Waduh dia semakin marah dan berteriak kencang “DIAMMMM… !!!”.
Tak lama lewatlah rombongan pejabat yang mereka kawal, dan kini Accord dan ketiga Innova sama sekali tanpa pengawalan PATWAL yang masih berurusan dengan ku. Sementara baik PK dan teman-nya menganggap aku sepertinya prioritas yang lebih penting untuk di”urus” daripada Gubernur. Teman-nya yang agak gendut (sebut saja PG), sepertinya lebih bijak dan meminta SIM serta STNK ku dari tangan PK, dan wajahnya berpikir keras membaca kedua dokumen tsb, maklum alamat di SIM memang salah satu jalan elit atau tepatnya jalan Sukabumi (padahal sebenarnya itu alamat ex kantor Ayah, dimana aku meminta pertolongan staf disana untuk bantu membuat SIM), disamping itu marga ku saat itu memang sedang jadi “trend” karena pernikahan putra sulung Presiden dengan seorang artis bermarga sama, padahal aku tidak pernah mengenal secara pibadi menantu beliau, meski dengan Ayah-nya pernah sekantor dulu di Menara Bidakara, dan sempat ngobrol2 sekilas.
Mendadak PG pasang wajah ramah dan berkata “Pak mohon hati2 lain kali , kalau menyalip dalam kondisi darurat jangan potong jalur kami, dan silahkan ambil bahu jalan jika jalur lain2 tak bisa”. Terus PG memberi isyarat pada PK untuk mengembalikan SIM dan STNK, namun PK yang masih saja emosi menolak keras dan berkata ingin memberi aku pelajaran dan tak perduli meski aku bermarga sama dengan menantu Presiden. Tiba2 dan tanpa disangka sangka PG berteriak ke muka PK “KEMBALIKAN … !!!” waduh kali ini PK yang bagai disiram es, wajahnya mendadak pucat dan langsung mengembalikan SIM dan STNK ku, serta langsung menenangkan diri-nya dengan pergi ke mobil sedan PATWAL. PG menjabat tangan ku dan dengan senyum ramah berpesan agar aku hati2 di jalan.
Aku terdiam sejenak di bahu jalan tol, dan menelepon istri serta berharap mendapatkan dukungan moral, maklum seumur hidup baru kali itu ditodong pistol, ehh istri menanggapi dengan dingin, “Salah papa sendiri, siapa suruh ngebut ..bandel siyyyy..”, yaiks… lemes juga mendengar istri sama sekali tidak mendukung. Yaaa kejadian itu sudah cukup lama sih, namun aku masih sedikit bingung dengan arogansi iring2-an pejabat, apakah selalu kepentingan mereka lebih tinggi dibanding rakyat biasa sehingga semuanya harus mengalah, khususnya di jalan tol yang sebenarnya semua pihak membayar untuk mendapatkan akses yang lebih lancar. Jika saja Ambulans atau Pemadam Kebakaran (yang berhubungan dengan urusan mati hidup) jelas kita yang harus mengalah, namun kalau pejabat ? apakah semua level pejabat berhak ? Jika Presiden atau Menteri aku rasa masih oke, namun Gubernur misalnya bagaimana ? Bukankah Jokowi Gubernur DKI, misalnya malah menolak pengawalan ? Belum lagi kadang mobil pengawal kadang tidak mau tahu kondisi jalan, dan zigzag sehingga membahayakan pengguna jalan lain yang sedang menghadapi kemacetan, kalau memang mau istimewa, kenapa tidak naik helikopter saja sekalian ?
Pada tahun 2009 aku membaca di koran2 kalau Gubernur Jawa Barat periode 2003 sd 2008 tersebut akhirnya menjadi tersangka dan “diseret” KPK dalam korupsi pelanggaran prosedur penunjukan langsung rekanan untuk pengadaan DAMKAR dan Alat Berat lalu di vonis hukuman penjara selama 4 tahun. Namun meski masa tahanan-nya belum berakhir beliau mengajukan grasi pada Februari 2010 dengan alasan sakit dan pengajuan ini sepertinya lolos dari pantauan media.
No comments:
Post a Comment