Pengantar : Tulisan ini merupakan satu dari sekian tulisan almarhum Ayah saya Saiful Parmuhunan Pohan, yang telah berpulang di bulan Juli tahun 2002, namun tulisan-nya yang mengalir, dan penuh dengan ide masih sangat relevan dengan kekinian. Saya dedikasikan bagi almarhum semoga bermanfaat bagi kita yang masih hidup dan menjadi amal baik bagi-nya di alam sana.
Di samping kebugaran jasmani salah satu pelajaran dari olah raga adalah sportivitas. Semangat tinggi pantang menyerah, ketulusan mengakui keunggulan lawan , keberanian menerima kekalahan, kebesaran jiwa, kejujuran dalam bermain adalah sifat-sifat yang ingin diburu dalam olah raga. Sengaja mengalah dengan maksud-maksud tertentu atau berbuat macam-macam agar menang sama-sama menodai sportivitas. Kemenangan itu memang berharga. Indah, sukar dilukiskan, ada kebanggan ada kegembiraan bahkan bisa mengucurkan air mata. Tetapi,... perlukah kemenangan itu bila sportivitas digadaikan sebagai gantinya.
Demi kemenangan berkali-kali terbukti bahwa negara penyelenggara telah berbuat macam-macam dan aneh-aneh,...termasuk Indonesia. Perwasitan yang digarap begitu rupa menciptakan jenis olahraga yang hanya diketahui oleh nenek moyangnya, mengubah ubah jadwal pertandingan dengan licik tanpa rasa malu, menelantarkan pemain tamu di bandara, menghalang-halangi agar tamu tidak bisa mencoba lapangan, mengintimidasi pemain, kebringasan dan teror penonton adalah dosa terhadap sportivitas yang tak mungkin dimaafkan. Buat apa bertanding kalau lawan tiidak sportif ?. Bagaimana Anda bisa menang kalau lawan bukan lagi sebelas, tetapi dua belas ?. Cara apa yang akan ditempuh untuk menggelantang penonton lapangan kalau skor pertandingan sudah ditetapkan sebelum permainan digelar ?. Adakah yang salah dalam olah raga.
Salah satu penyebab kemerosotan itu adalah sistem target. Sistem target adalah kedunguan dalam olah raga. Tidak percaya ?, mari ikut saya lapangan.
Di atas kertas kita unggul. Baik fisik maupun mental, ketrampilan tinggi, semangat juang tidak diragukan, pengalaman segudang....., tapi kaki pemain kita patah...... Tim kita unggul . Ada puluhan tembakan yang kita lakukan ke gawang lawan, namun tidak ada yang masuk. Tetapi hanya ada satu tembakan ke gawang kita dan,....gool. Kita pun kalah. Karena memburu target, kita lupa Dewi Fortuna, kita lalai lucky blow, bahwa ada hari naas dan ada hari keberuntungan, nasib sial d.s.b. Itulah sebabnya sebuah even tidak memuaskan banyak orang. Direncanakanlah even lainnya, kesempatan ulang tanding dan revans di dalam atau di luar kandang (home and away). Pada catur dibutuhkankan dua puluh empat set, bridge memerlukan seratus empat puluh empat papan, untuk itu tadi, mengurangi faktor keberuntungan dan nasib.
Ternyata kemerosotan sportivitas itu bukan saja melanda pemain, penonton, wasit, tapi juga jenis olah raga itu sendiri. Lihatlah bola basket. Masa kita tega mengadu pemain yang 200 cm dengan yang hanya 170 cm ?. Tidaklah mengherankan bahwa ada wartawan yang nyeletuk agar bola basket dibagi dalam kelas-kelas berdasarkan tinggi pemain. Karena tidak ada yang menggubris, barangkali takut kalah, dia mendongkol dan mengusilkan (baca : mengusulkan) agar pertandingan bola basket cukuplah dengan hanya mengukur tinggi pemainnya. Beres, habis perkara.
Lihatlah sportivitas penonton di lapangan sepak bola. Di sini kita hanya mendewakan masuknya bola ke dalam gawang. Tidak perduli siapa yang bikin. Anehnya, gol bunuh diri pun bisa membuat kita berjingkrak-jingkrak kegirangan. Penjaga gawang lawan telah loncat memetik bola di udara, tetapi ia terjatuh dan terjungkal ke belakang. Tanpa malu-malu kita berteriak membahana,....gooool. Alangkah rendahnya sepak bola itu.
Di bulu tangkis lain lagi. Penonton tidak bergeming melihat sentuhan-sentuhan yang menggairahkan, masa bodoh terhadap godam, smash, yang menghunjam dan hanya terpengaruh terhadap skor yang terus berubah. Di tenis wanita, penonton tidak akan datang ke lapangan kalau celana dalam Gabriella Sabatini tidak tersingkap waktu serve.
Memang benar bahwa teknik bermain sudah banyak berubah, tetapi moral tertinggal jauh di belakang. Menargetkan Susi Susanti harus menang pada setiap penampilan adalah dosa, tidak adil, dan tidak manusiawi. Satu-satunya target dalam olah raga ialah bermain sebaik mungkin, sesportif mungkin. Persetan itu kemenangan. Percayalah, bahwa bangsa kita tidak akan merosot di mata dunia karena mengutamakan sportivitas dari hanya sekedar menang.
Jangan lupa pada sejarah, bahwa ada pemain yang menang karena perwasitan yang jelek justru menggebrak meja wasit.
Akhirnya baiklah kita catat bahwa, daripada menang dengan jalan curang baik kalah walaupun dicurangi.
No comments:
Post a Comment