Monday, February 20, 2012

Bukan Pasar Malam - Pramoedya

Imbas dari membaca buku “Pram Melawan” terbitan Nalar, saya jadi tergerak untuk mulai mengoleksi buku Pram. Meski pernah menammatkan tetralogi kaliber magnum opus karya beliau di Pulau Buru yaitu “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah” dan “Rumah Kaca “namun saya baru menyadari tak satupun buku Pram yang saya punya.

Setelah perburuan di beberapa toko buku, akhirnya saya sudah berhasil mendapatkan 11 karya beliau diantaranya adalah “Bukan Pasar Malam” yang pertama kali diterbitkan Balai Pustaka di 1951. Buku ini meski tipis, namun justru salah satu karya yang paling disukai Romo Mangun. Dalam buku “Pram Melawan”, disebutkan juga bahwa Romo Mangun, sempat mengunjungi Pram di Pulau Buru, dan lantas menyampaikan kalau karya2 Pram menginspirasi beliu untuk menulis. Pada masa itu Pram juga mengingatkan Romo Mangun tidak ada warisan terbaik dari seorang intelektual selain buku, yang akan terus menjadi obyek yang dapat menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya.



Apa yang menarik dari karya Pram dengan wajah baru dan dengan penerbit “Lentera Dipantara” ? pertama tama tentu saja cover karya Ong Hari Wahyu. Lupakan artwork-nya Hasta Mitra yang terkesan asal-asalan. Harus diakui selera Ong khusus-nya soal warna bukan karya murahan. Teknik melukis-nya sangat ekspresif seperti yang dia tunjukkan di karya Pram "Sekali Peristiwa di Benten Selatan", bahkan bagi saya tidak kalah dengan maestro lukis seperti S. Sudjojono (1913-1985) dan mengangkat karya Pram ini ke kelas yang lebih tinggi lagi.

“Bukan Pasar Malam”, dibuka dengan kalimat “Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun duyun lahir di dunia dan berduyun duyun kembali pulang, seperti dunia dalam pasar malam, seorang seorang mereka datang dan seorang seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas cemas menunggu saat nyawa-nya terbang entah kemana”. Bagi saya ada menarik yang dalam dalam kalimat tersebut, ini adalah kalimat yang religius, dan menjelaskan ada tempat awal, dan ada tempat kembali sedangkan pasar malam adalah ibarat dunia dengan segala kesenangan-nya, serta setiap kita tinggal menunggu gilirannya.

Ceritanya sendiri sangatlah sederhana, tentang seorang anak sulung yang pergi jauh, lantas mendengar kabar adik-nya yang sakit, mengirim surat  “teguran kasar” pada Ayah-nya dan lantas mendapatkan kabar baru justru  Ayah-nya lah yang sakit lebih parah. Dengan meminjam dana dari sana dan sini Sang Anak (bersama istrinya) pulang dengan rasa menyesal, lalu menemani Ayah-nya yang sekarat sampai dengan maut menjemput.  Akan tetapi pergulatan pikiran yang dirasakan Sang Anak, saat menerima kabar, perjalanan dengan Kereta Api, dan masa lalu di kota kecil (Blora) yang tiba tiba menariknya dalam kenangan masa kecil, diutarakan Pram dengan memikat. Tetapi seorang penulis yang baik memang mampu menuliskan hal sederhana menjadi sesuatu yang memikat, persis seperti karya Samuel Beckett yaitu “Menunggu Godot”, tentang dua gelandangan dan tiga lelaki lain-nya yang menunggu Godot, dan tak pernah muncul hingga cerita berakhir.

Lagi lagi Pram menunjukkan keunggulan “photographic memory” yang dia miliki dengan menjelaskan setiap daerah yang dilalui kereta. Lengkap dengan kenangan dia saat menjadi tentara dalam menghadapi penjajahan. Di akhir cerita, saya jadi mengerti kenapa buku ini sampai menjadi karya Pram terbaik versi  Romo Mangun, dan sangat layak untuk dijadikan koleksi.

No comments: