Membaca buku ini segera setelah buku Hari Hari Terakhir Sukarno, jadi terasa sangat nikmat. Seakan akan kita mengendarai mesin waktu, dan melihat derita Sukarno "terbalas" hanya dalam 1x24 jam. Pengkhianatan oleh orang2 yang dipercaya akhirnya dialami Suharto, dengan penolakan oleh 14 anggota kabinet yang dia bentuk. Begitu juga dengan problem ekonomi, jika era Sukarno karena salah kelola, pada era Suharto karena keberpihakan pada konglomerasi dan monopoli dan beban hutang luar negeri.
Namun sebagaimana Sukarno, yang menghindari konflik antara sesama rakyat, Suharto juga memilih menghindari konflik tentara dan mahasiswa, meski saat itu dia dipercaya masih punya kekuatan untuk menggerakkan tentara. Namun saya percaya sebagaimana keterlibatan CIA di era Sukarno, permainan spekulasi mafia valas seperti Soros juga salah satu pemicu kejatuhan Suharto, mengingat kebijakan utang luar negeri yang luar biasa, dan menjadi berlipat lipat akibat jatuhnya mata uang rupiah terhadap dollar.
Bedanya adalah jika pada era Sukarno, Suharto terkesan "menunggangi" supersemar, Wiranto yang saat itu menjabat PANGAB dan Subagyo sebagai KSAD menolak wacana penggunaan "surat sakti" TAP MPR No V/MPR/1998. Dengan demikian Indonesia dapat menuju negara yang dapat menjalankan pemilu dengan jujur, bebas dan adil.
Akhirnya 21/5/1998 saat peringatan ke"naik"an Isa Almasih, Suharto justru "turun", kurang lebih 30 tahun setelah "kudeta" nya pada Sukarno, dimana dia mulai menjabat 22/2/1967 dan dilantik 27/3/1968. Setelah pidato pengunduran dirinya, Suharto pamit dengan setengah membungkuk dengan tangan disilang dibagian perut, dalam suasana hening dan tegang, sementara 70 hari sebelumnya dia masih sangat percaya diri setelah pelantikan periode yang ketujuh kalinya dan disambut standing ovation. Saat itu palu Harmoko patah ketika diketukkan untuk ketiga kali-nya, seakan akan menjadi pertanda buruk.
Meski bagi Suharto ini lebih ke "lengser keprabon", mengingat sumpahnya saat pelantikan, sebagian orang berpendapat yang terjadi adalah "tinggal glanggang colong playu", karena dia tidak melakukan pidato pertanggung jawaban dan langsung menyerahkan tongkat kepemimpinan ke Habibie.Yusril ataupun Harmoko menganggap proses itu konstitusional, namun sebaliknya Loebby Loqman ataupun Dimyati Hartono, karena tidak dilakukan di sidang MPR yang mana seharusnya MPR lah yang menyerahkan ke Habibie.
Meski setelah "jatuh" Suharto terkesan menyalahkan Harmoko karena memintanya kembali menjadi presiden, namun banyak orang mempertanyakan kenapa bukan Suharto saja yang memutuskan agar tidak dipilih kembali. Bagi saya ini adalah buku yang menarik, komprehensif dan netral.
Namun sebagaimana Sukarno, yang menghindari konflik antara sesama rakyat, Suharto juga memilih menghindari konflik tentara dan mahasiswa, meski saat itu dia dipercaya masih punya kekuatan untuk menggerakkan tentara. Namun saya percaya sebagaimana keterlibatan CIA di era Sukarno, permainan spekulasi mafia valas seperti Soros juga salah satu pemicu kejatuhan Suharto, mengingat kebijakan utang luar negeri yang luar biasa, dan menjadi berlipat lipat akibat jatuhnya mata uang rupiah terhadap dollar.
Bedanya adalah jika pada era Sukarno, Suharto terkesan "menunggangi" supersemar, Wiranto yang saat itu menjabat PANGAB dan Subagyo sebagai KSAD menolak wacana penggunaan "surat sakti" TAP MPR No V/MPR/1998. Dengan demikian Indonesia dapat menuju negara yang dapat menjalankan pemilu dengan jujur, bebas dan adil.
Akhirnya 21/5/1998 saat peringatan ke"naik"an Isa Almasih, Suharto justru "turun", kurang lebih 30 tahun setelah "kudeta" nya pada Sukarno, dimana dia mulai menjabat 22/2/1967 dan dilantik 27/3/1968. Setelah pidato pengunduran dirinya, Suharto pamit dengan setengah membungkuk dengan tangan disilang dibagian perut, dalam suasana hening dan tegang, sementara 70 hari sebelumnya dia masih sangat percaya diri setelah pelantikan periode yang ketujuh kalinya dan disambut standing ovation. Saat itu palu Harmoko patah ketika diketukkan untuk ketiga kali-nya, seakan akan menjadi pertanda buruk.
Meski bagi Suharto ini lebih ke "lengser keprabon", mengingat sumpahnya saat pelantikan, sebagian orang berpendapat yang terjadi adalah "tinggal glanggang colong playu", karena dia tidak melakukan pidato pertanggung jawaban dan langsung menyerahkan tongkat kepemimpinan ke Habibie.Yusril ataupun Harmoko menganggap proses itu konstitusional, namun sebaliknya Loebby Loqman ataupun Dimyati Hartono, karena tidak dilakukan di sidang MPR yang mana seharusnya MPR lah yang menyerahkan ke Habibie.
Meski setelah "jatuh" Suharto terkesan menyalahkan Harmoko karena memintanya kembali menjadi presiden, namun banyak orang mempertanyakan kenapa bukan Suharto saja yang memutuskan agar tidak dipilih kembali. Bagi saya ini adalah buku yang menarik, komprehensif dan netral.
No comments:
Post a Comment