Pada tahun 2006 di bulan Agustus, saya diundang oleh salah satu instansi dibawah Departemen Keuangan sebagai wakil dari masyarakat untuk menghadiri workshop standarisasi format data ekspor dan impor antar negara. Acara ini merupakan inisiatif ASEAN untuk memudahkan pertukaran informasi dan diselenggarakan di Hanoi, Vietnam. Tak pernah sebelumnya ada dalam benak saya pergi ke negara yang sangat banyak muncul di film2 perang Amerika (Amerika biasanya digambarkan menang, kenyataan-nya Vietnam berhasil mengalahkan Amerika, meski kurang segala-galanya di banding Amerika, baik persenjataan, dana, ataupun tentara). Sesuai janji saya lalu menghubungi sekretariat ASEAN di Sisingamangaradja Jakarta untuk proses berbagai dokumen yang diperlukan.
Pada saat itu sulit membayangkan seperti apa sebenarnya Vietnam, namun tak terasa saya sudah mendarat di Noi Bai Airport. Bandara-nya tidak terlalu besar namun cukup rapi, tertata dan bersih. Antri imigrasi-nya sendiri cukup panjang, dan begitu selesai saya mulai mencoba bertanya kian kemari kendaraan apa yang dapat saya gunakan untuk menuju Hotel Guoman di A Ly Thuong Kiet Street 83. Sebelumnya saya menukarkan uang EUR yang saya bawa dengan mata uang Vietnam alias Dong, saat itu per 1 EUR = 20.000 Dong. Tak lama saya mendapatkan sebuah taxi yang relatif baru, anehnya supirnya memiliki asisten / kenek, dan mereka ngobrol seru sepanjang jalan, sekali sekali supir memerhatikan saya lewat spion. Sempat terbersit kecurigaan dalam hati saya apa kira2 yang mereka bicarakan, namun saya coba untuk menikmati pemandangan disekitar jalan.
Sepanjang jalan, nampak banyak rumah2 bertingkat (rata2 tiga tingkat) dengan atap merah menyala yang menunjukkan pembangunan sangat pesat di Vietnam. Begitu juga dengan jalan, dimana mana terlihat proyek perluasan, jalan dan jembatan baru. Mobil yang dominan saat itu adalah Mitsubishi Zinger khususnya yang di Indonesia dikenal sebagai Kuda. Taxinya melaju cukup kencang dan jalanan relatif sepi. Menjelang kota, saya melihat sebuah perumahan dengan gapura tinggi dan berbagai patung kuda serta logo yang sangat akrab saya lihat di Indonesia, hemm tak salah lagi pasti ini proyeknya Ciputra. Luar biasa juga penetrasi beliau di bidang konstruksi, sebaliknya saya jadi ingat Lyman yaitu developer luar yang memiliki proyek di Padalarang.
Begitu memasuki kota, seperti yang ditulis Franz Wisner dalam bukunya "Honeymoon with My Brother" ratusan pengendara motor hiperagresif berebutan saling mendahului, nyaris bertabrakan, mengebut bagaikan hantu dengan sangat lihai dan lalu tiba dilampu merah berikutnya dan memulai semua proses ini kembali dari awal, dan sangat sedikit yang mampu membeli helm. Keriuhan itu masih ditambah dengan hujan klakson dimana mana.
Pada salah satu malam dengan difasilitasi panitia saya berkunjung ke sebuah tempat yang sangat banyak dikunjungi turis. Menurut pemandu, tempat ini merupakan pertunjukan boneka dan air. Kami memasuki sebuah gedung tua yang sepertinya hendak roboh, dan lalu menduduki kursi kayu bertingkat disebuah ruangan yang sangat suram dengan kolam berukuran sebesar lapangan tenis dan air berwarna hijau kotor sebagai pengganti panggung. Tak lama kemudian lampu dimatikan, dan gedung bobrok itu berubah menjadi arena yang sangat cantik dengan berbagai boneka air yang digerakkan dengan tongkat2 pengait serta tali, benar2 pertunjukan yang spektakuler.
Di malam yang lain, kami berjalan jalan mengelilingi danau dengan semacam kuil untuk beribadah di tengah danau dan jembatan merah yang cantik. Sepertinya tempat ini merupakan pusat kehidupan malam di Hanoi. Sepanjang tepi danau diantara restoran restoran mewah terlihat muda mudi Hanoi dengan bebasnya berpacaran. Suasana ramai penuh dengan muda mudi berpacaran ini mengingatkan saya akan suasana yang mirip seperti yang pernah saya lihat di Singkawang.
Wanita wanita Hanoi mungil2, modis, ramah dan umum-nya memang cantik, mengingatkan saya akan istri salah satu MC senior ternama di Indonesia yang juga merupakan keturunan Vietnam. Tidak aneh juga banyak tentara Amerika yang terpikat dengan wanita Vietnam, mulai dari sekedar iseng, dijadikan istri atau bahkan dijadikan anak angkat.
Selama di Hanoi saya tidak begitu kuatir soal makanan, untung saja kebetulan ada pekan masakan Malaysia di Hotel Guoman, dengan demikian saya tidak perlu ragu masalah halal dan haram, sekaligus mendapatkan sahabat sesama Melayu yang kebetulan sama2 homesick.
Malam terakhir, lagi-lagi panitia mengajak kami keliling kota, dan berhenti di sebuah restoran besar yang memiliki berbagai macam bangunan atau pondok2 yang tersebar. Masakan-nya bagaikan kombinasi Chinesse Food dan berbagai snack ikan, daging, ayam, burung ala Hoka Hoka Bento. Pondok memasaknya juga tersebar seperti settingan ala pernikahan di Indonesia. Sepulang dari jamuan malam, saya jalan kaki membeli berbagai cindera mata seperti lukisan benang (embroidery), kerajinan logam dan tak lupa kapal naga kayu untuk melengkapi koleksi kapal yang selama ini saya kumpulkan bersama istri.
Akhir kata saya kagum dengan masyarakat Vietnam yang rajin, ulet dan semangat mengejar ketinggalan mereka dari negara2 lain, Perang yang sangat menghancurkan dimasa lalu saat ini seakan akan tidak terlihat sama sekali, dan mereka turut bangkit untuk menjadi salah satu macan Asia.
No comments:
Post a Comment