Monday, May 06, 2013

Java Heat (2013) - Conor Allyn

Tidak jelas apa karena masih puas-nya anak saya dengan "The Raid" atau memang iklan yang cukup gencar di TV, sehingga anak saya mengajak nonton "Java Heat" dengan iming2 ini bukan sekedar film indonesia, namun film internasional yang ber-"setting" di Indonesia.

Saya sendiri sempat tertarik, maklum rasanya masih jelas dalam ingatan film "Year of The Dragon" (1985) yang dibintangi Mickey Rourke, begitu juga dengan "Angel Heart" (1987) salah satu film kontroversial dimasa-nya. Jelas Mickey Rourke yang pernah jadi petinju professional ini bukan bintang sembarangan. Bagi generasi saat ini yang masih penasaran dengan siapa Mickey Rourke, tentunya bisa melihat akting dahsyat-nya di "Iron Man 2" (2010), sebagai Ivan Vanko dan adegan spektakuler-nya saat berjalan dengan percaya diri, menghadang mobil2 formula di Monaco untuk menantang Tony Stark.

Maka dengan penuh harapan saya pun join dengan anak2 menyaksikan film ini, namun ternyata harus berakhir dengan banyak kekecewaan. Hemm kenapa kecewa ? pertama; akting Kellan Lutz yang memerankan Jake justru tenggelam dibanding Ario Bayu yang memerankan detektif Hashim (meski Ario sebenanrnya terkesan terlalu melankolis untuk seorang senior di Densus88). Kedua; sosok selevel Mickey Rourke yang memerankan Malik, terlihat kurang tergali, karena skenario yang terlalu pas2an, sehingga jangankan selevel dengan akting sebagai Ivan Vanko di "Iron Man 2", setengah-nya saja rasa tidak sampai. Film ini juga menyia-nyiakan kualitas akting selevel Tio Pasukadewo ataupun Atiqah Hasiholan (meski catatan khusus buat Rio Dewanto yang memang cukup tereksplorasi dengan baik). Di lain pihak pemilihan Frans Tumbuan sebagai kepala polisi kurang pas, karena terlihat terlalu tua untuk seorang polisi aktif.



IMO film ini juga tidak cocok untuk remaja, terlalu banyak adegan merokok dan terkesan dipaksakan dimana-mana, bukan hanya di tempat terbuka seperti di rumah Hashim sebagai Densus88, bahkan di dalam ruang tertutup, seperti di mobil pengintai pun hal ini terjadi. Tak jelas apakah ini merupakan opini pribadi Conor Alyn sebagai sutradara mengenai habit kebanyakan orang Indonesia. Adegan "mesra" Kellan Lutz dengan Uli Auliani saat pulang dari "dugem" yang rasanya memaksakan budaya ala western ala Hollywood dalam film2 Indonesia.

Tidak hanya itu adegan tersamar mengenai kecenderungan Malik pada bocah lelaki seakan menghalalkan hal2 seperti ini sesuatu biasa dilakukan di Yogya (baca : Indonesia). Dan ajaibnya Malik digambarkan mencari mangsa sendirian dengan menggunakan delman. Sepertinya adegan ini cukup ajaib bagi saya. Namun untuk yang terakhir ini mengingatkan saya akan salah satu Doktor Amerika dengan inisial JW yang beberapa tahun lalu sempat digebukin sampai babak belur oleh beberapa pemuda di Yogya karena pelecehan seksual sesama jenis.

Adegan aneh lain-nya adalah penari2 di kamar Malik, menggunakan kostum tari Jawa dan lalu diam seperti patung, belum lagi adegan Malik memberi makanan sejenis kacang, seakan akan penari tsb dianggap burung. Adegan2 seperti ini ganjil dan berkonotasi sakit secara psikologis. Meski mungkin maksudnya memberi gambaran lebih jelas akan karakter Malik, namun penggambaran-mya terasa berlebihan.

Saya juga terganggu dengan muncul-nya tokoh teroris yang digambarkan berbaju koko serta kopiah muslim, namun anehnya justru muncul di pub dugem dengan tarian sensual tanpa memancing ekspresi kecurigaan dari para pengunjung pub. Serta tak lupa selalu mengucapkan "Allahu Akbar" sebelum menembaki musuh2nya.

Sinergi iklan produk dan film yang saat ini menjadi trend, juga terlihat dalam film ini. Misalnya produk minuman khas Amerika, namun sepertinya masih lebih halus dibanding film Habibie baru2 ini yang sangat terkesan dipaksakan.

Adegan puncaknya juga payah, khususnya mengingat kualitas Hashim dan Jake yang memerankan kolaborasi satuan khusus dari dua Negara. Rasanya aneh melihat mereka kewalahan menghadapi Malik saat di Candi Borobudur. Apalagi saat itu Malik sendirian dan terlihat sekali ke"tua"an-nya, ketidak idealan postur-nya dan juga kelambanan-nya sehingga menjadi lawan yang konyol dari kedua agen muda ini.

Untunglah fotografi film ini terhitung bagus, sisi eksotis Yogya yang meski terlihat kelam tapi tetap menarik sekaligus eksotis. Begitu juga adegan menyetir di antara sawah2 terlihat cantik, dan sepintas ada sudut2 ala Walter Spies pelukis Jerman yang sangat ahli dalam menonjolkan aspek tradisional. Sayangnya saya merasa fotografi film ini masih gagal saat tidak mampu menunjukkan keindahan Candi Borobudur.

No comments: