Monday, April 22, 2013

Surat Dahlan - Khrisna Pabichara

Sebenar-nya saya berharap ini merupakan lanjutan "Sepatu Dahlan" secara murni, namun Khrisna justru memilih flashback yang dimulai dari adegan operasi penggantian hati.

Jadi bagi saya ini agak sedikit mengecewakan, karena saya sudah membaca soal operasi ini dengan adegan yang justru lebih detail di buku yang ditulis Dahlan sendiri yaitu "Ganti Hati". Jadi rasanya pada beberapa bagian seakan membaca buku yang sama dua kali.

Untunglah petualangan Dahlan di Samarinda sedikit mengobati situasi ini. Samarinda ? Mungkin itu yang ada di hati pembaca, ya memang sedikit aneh, jika pada masa itu orang memilih pendidikan di Jawa, Dahlan justru sebaliknya. Dengan menumpang dirumah kakak perempuan-nya Dahlan melanjutkan kehidupan-nya yang serba susah jauh di luar Jawa.



Salah satu bab yang menarik, adalah saat Dahlan diceritakan tak mampu membeli kemeja untuk pergi kuliah, sehingga salah satu dosen "killer" mengancam sekaligus mempermalukan Dahlan didepan kelas, jika pada sesi berikutnya masih menggunakan kaos, maka dipersilahkan untuk tidak usah hadir. Namun saat pelajaran berikutnya, justru Sang Dosen yang kaget ketika menemukan tak ada seorang mahasiswapun hadir dikelas, namun setiap mahasiswa diwakili oleh masing2 kemeja mereka saja yang disampirkan pada setiap kursi. Sayang-nya tidak ada konfirmasi apakah ini pengalaman betulan atau tidak, jika betulan bisa jadi ini merupakan jawaban kenapa Dahlan sampai saat ini selalu menggunakan sepatu kets.

Namun bab2 berikutnya yang menceritakan kegiatan Dahlan sebagai mahasiswa sekaligus aktivis  organisasi PII di Samarinda, bagi saya agak sedikit membosankan, Suasana saat itu khususnya di Samarinda juga tidak terbangun secara detail, terkesan Khrisna kurang riset untuk membangun suasana tahun 1970 an di Samarinda.

Buku ini juga di dominasi kisah cinta segi empat antara Aisha, Maryati, Nafsiah dan Dahlan. Seperti-nya karakter Dahlan cukup laku di kalangan wanita. Sayang-nya cara Dahlan menolak Maryati terasa agak "menyakitkan", sebaliknya mengabaikan surat2 Aisha juga rasanya terlalu kasar. Namun ada kalimat di buku ini terkait hubungan antara Aisha (yang akhirnya menikah dengan pria lain) dengan  Dahlan dan digambarkan dengan cantik lewat kalimat "Dulu kita berdua selalu saling mengenang, namun kini kita berdua belajar melupakan".

Hal menarik lain-nya, saat Dahlan belajar menjadi wartawan untuk pertama kali, dan mendapatkan sikap yang menyakitkan dari senior.Untung dia ingat nasihat ayah-nya mengenai cerita lidah dan hati. Singkatnya ketika seekor hewan dipotong, maka lidah dan hati adalah bagian paling enak saat segar, namun juga bagian paling busuk saat tidak segar. Jadi jagalah hati dan lidah kita, dengan demikian kita menjaga selurh diri kita sekaligus.

Cerita tentang kera dan kacang polong, juga muncul untuk mengingatkan betapa Dahlan menyia-nyiakan cinta Aisha dan Maryati, karena mengharapkan Nafsiah namun ternyata juga sempat "diabaikan" Nafsiah. Cerita tsb mengenai seekor kera mencuri segenggam kacang, namun sebutir diantara-nya jatuh, dengan sibuk Si Kera fokus pada yang hilang namun yang segenggam justru habis dimakan ayam.

Makin kesini setelah kurang lebih setengah buku, cerita-nya menjadi semakin menarik, khusus-nya setelah Dahlan meninggalkan dunia mahasiswa dan fokus pada dunia kerja. Menjelang akhir buku, sosok ayah Dahlan, yakni Iskan muncul kembali, dan lelaki bersahaja ini menasehati anak-nya yang telah menjadi pimpinan Group Tempo di Area Surabaya tentang teka teki Al Ghazali, yakni, apa yang paling besar di dunia, apa yang paling berat, dan apa yang paling dekat. Uniknya Al Ghazali tidak menyalahkan semua jawaban, dia hanya mengatakan "menurut-nya" dan dengan jawaban yang sama sekali tidak disangka sangka murid-nya.

No comments: