Singkat kata, Uda bercerita bahwa setelah beberapa waktu lamanya berdagang mahoni di pinggir jalan. Uda ikut bantu2 sekaligus magang ke temannya pedagang kelontong senior. Metode yang mereka gunakan adalah berdagang barang di kaki lima, dengan menggelar dagangannya secara acak2an. Di waktu itu, masih belum umum bila orang menggelar dagangan dengan membuatnya berantakan, terserak2 dan campur aduk seperti yang telah lazim sekarang ini di berbagai Mall. Boleh dikatakan Uda dan beberapa rekannya tersebut merupakan pionir menggelar dagangan dengan metode berantakan dan campur aduk tersebut.
Setelah magang beberapa waktu lamanya dengan rekan seniornya tersebut, maka dari hasil simpanan ditambah keuntungan berdagang mahoni, maka Uda yang telah mempelajari dan memahami liku2 perdagangan kaki lima tersebut, memberanikan diri untuk membuka usaha kaki lima sendiri. Walau berat karena kehilangan tangan kanan andalannya, senior Uda tersebut maklum akan keputusan Uda, dan ikhlas melepas Uda mandiri.
Demikianlah maka sejak saat itu pun Uda pun menggelar dagangannya di tempat2 yang dirasanya paling strategis. Dalam satu hari kadang Uda harus berpindah2 lokasi sesuai dengan kondisi di lapangan. Saat senja membayang, maka Uda pun membuntal (membungkus) barang2 dagangannya dan memanggulnya kembali ke tempat kostnya di daerah Betawi asli di pinggiran Jakarta. Beberapa waktu berlalu, sampai akhirnya Uda merasa sudah on the right track dan itulah saatnya Uda memunculkan diri kembali di pintu kontrakan kami. Namun kali ini dengan rasa puas, rasa bangga dan optimis.
Ayah pun turut merasa bangga, dan setelah memutar2 sendok sup yang besar dalam mangkok, Ayah pun minta tambah kuah sop. Istilah Ayah yang umum adalah, tambahlah sikit kuahnya .. dan kemudian bila hanya kuah yang muncul, maka ayah akan menyambung .. kok kuahnya sepi sendirian ? nggak ada teman2nya yang berenang2 didalamnya ? (maksudnya, buntutnya atau dagingnya ..). Ibu sudah faham betul kebiasaan Ayah. Itulah sebabnya Ibu selalu menyiapkan ronde tambahan atau atau amunisi cadangan yang ditaruh di dapur.
Sehabis makan Uda dan Ayah pun berbincang2. Ayah kemudian menyarankan langkah selanjutnya, yakni tetap berhemat, kumpulkan duit, tabung, dan fokuslah untuk membeli warung. Kalau masih belum mampu, ngontrak saja dulu. Ini perlu, lanjut Ayah, karena kalau kau sudah bisa memelihara dan menjaga kepercayaan pelanggan, lebih bagus lagi kalu kau tak usah berpindah2, Nanti langgananmu bingung mencari2. Demikian antara lain nasihat Ayah. Ayah memang kutu buku, pengetahuannya luas dan lintas sektoral, dan kalau berbicara penuh semangat dan energik, sehingga aku pikir2, kalau zaman sekarang ini mungkin Ayah bisa menjadi motivator kesohor. Uda Domma pun berpamitan dan berlalu dengan langkah2 lebar dan sejumlah rencana.
Apa yang diterima Ayahku dari Uda, aku tidak pernah jelas. Namun seingatku, tidak lama setelah kepergian Uda tersebut, mendadak Ayah memiliki sebuah baju baru bermotif kotak2 besar, berwarna krem dan coklat tua. Baju kesayangan Ayah itu hanya dipakainya pada kesempatan dan acara2 khusus selama bertahun2 kemudian.
Tidak lama kemudian, kami sekeluarga kembali merantau. Kali ini ke Sibolga, sebuah pelabuhan penting di Sumatera Utara yang dikembangkan oleh pemerintah Belanda. Sibolga merupakan sebuah kota kecil yang tertata rapi sekaligus pelabuhan alam yang cantik dan saat itu merupakan ibukota Tapanuli Tengah.
Kami pindah tepat pada tahun dimana Ompung laki (Ayah nya Ayah) meninggal dunia. Perpindahan ini memang atas permintaan Ayah, agar lebih dekat dengan ibundanya yang baru menjanda dan bermukim di Padang Sidempuan dekat Siborang, di depan Tangsi Polisi (demikian patokan yang kita berikan ke supir2 bis kalau ingin datang ke tempat Ompung). Kami memanggilnya Ompung Gendut, karena memang demikianlah adanya.
Sibolga, pada saat itu, seperti juga umumnya kota2 kecil di Indonesia, khususnya yang terletak di luar Pulau Jawa, adalah tempat yang terlokalisir. Jangankan televisi yang belum tertangkap siarannya, bahkan koran Kompas (waktu itu ayah berlangganan Kompas, sejak harian favoritnya Indonesia Raya-nya Mochtar Lubis, dibreidel mulai era Soekarno) pun terlambat sampai dua hari. Harian Kompas terbitan Senin, baru bisa kami terima hari Rabu. Terkadang munculnya sekaligus bersama2 Kompas Selasa, namun tiba pada hari Kamis.
Ada memang radio mendiang Uwa’ (kakaknya Ibu), yang diperbaiki kembali dan dipasang di kamar Ibu. Namun bagiku itu tidak banyak menolong. Karena selain bentuknya yang kuno, juga pada frekuensi radio tersebut dicantumkan sejumlah nama2 kota yang menunjukkan dari mana2 saja siaran tersebut berasal namun kota2 tersebut sebagian sudah tidak ada lagi di pelajaran ilmu bumi (geografi) di sekolahku saat itu, misalnya kota Batavia.
Dengan kondisi daerah dan alat komunikasi seperti itu, wajar jika kemudian – sebagian besar perkembangan berita kita ketahui dari mulut ke mulut. Khususnya dari sanak saudara yeng kebetulan berkunjung ke rumah.
Kemudian Ayah dan Ibu pun mendengar berita Uda Domma.
No comments:
Post a Comment