Tuesday, July 24, 2012

Ibuk - Iwan Setyawan

Melihat buku ini saya langsung tertarik, meski covernya terkesan suram dan mengingatkan saya akan salah satu cover buku tentang Kartini, warna2 sephia, sosok ibu dan tulisan tangan. Setelah menghabiskan dua malam akhirnya buku ini tamat, dan saya selesaikan dengan berurai air mata. Dari judulnya memang agak membingungkan, tetapi yang dimaksud Iwan ternyata adalah sosok Ibu, tetapi ditambahkan “k” karena memang seperti itulah Bayek dan keempat saudara perempuan-nya memanggil ibu mereka.
Apakah buku ini merupakan sambungan dari 9 Summers 10 Autumns (9S10A) ?, saya rasa tidak, IMHO buku ini mengawali  9S10A dan sekaligus mengakhiri-nya. Buku ini seperti biografi dari Ibuk sedangkan 9S10A bagaikan biografi Iwan. Namun jangan berharap buku ini membuat kita tertawa, ya bagi saya buku ini relatif kering dari humor, Iwan menuliskan-nya dengan serius dan memilih kata2 yang singkat namun padat. Bab2nya pendek namun bernas, tidak puitis namun mantap. Bagi yang merindukan gaya Andrea Hirata, yang dapat menertawakan kepedihan, anada tidak akan menemukannya disini, buku ini ditulis dengan serius dan ditulis dari hati Iwan yang paling dalam
Bagi saya 9S10A, adalah buku yang menarik walau mungkin bagi pembaca “normal” cara berceritanya sedikit aneh, istri saya bahkan sangat tidak menyukai penggambaran Iwan yang “jatuh cinta” pada sosok masa kecilnya yang baginya lebih terlihat sebagai kelainan psikologis. Namun saya berpendapat ini adalah bentuk kerinduan akan masa lalu bagi seorang Iwan yang kesepian saat “terdampar” di riuhnya Manhattan.
Kembali ke Ibuk, terkesan bagaimana kagum-nya Bayek pada sosok Ibuk yang mengabadikan hidup-nya bagi keluarga-nya yang hidup dalam kemiskinan. Bagaimana Ibuk tak pernah putus asa dalam menyemangati anak2nya agar tidak hanya lulus SD sebagaimana dirinya sendiri. Bagaimana Ibuk dengan pendapatan suami yang hanya seorang supir angkot tidak pernah berputus asa, bagaimana Ibuk harus meminjam kesana sini agar kehidupan tetap dapat berjalan, atau bagaimana satu atau dua telor harus dibagi dengan potongan ala pizza agar semua anak kebagian.
Agar anak2nya terus maju, Ibuk tidak mau menyerah, sekalipun harus menjual angkot kesayangan suaminya untuk biaya sekolah Bayek. Ibuk bahkan menolak Bayek untuk kembali ke Batu setelah seminggu di Bogor karena menderita “home sick”, meski bagi Ibuk tidak kalah beratnya untuk berpisah dengan Bayek, anak lelaki satu-satunya. Buku ini disusun bagaikan biografi seorang wanita yang walau berasal dari tempat terpencil tetapi punya cita2 besar dan tak pernah padam.
Menjelang ¾ buku, Bayek mulai bergeser ke tokoh Ayah, tokoh yang selama ini pergi pagi2 dan pulang malam untuk membanting tulang di trayek Pujon dan Batu, mulai mendominasi cerita, terutama setelah beliau mulai sakit2an. Episode2 menjelang Ayah pergi untuk selamanya sangat menguras emosi pembaca, saya bisa membayangkan pergumulan dan penderitaan Iwan saat menuliskan halaman2 berat ini. Namun karena meyakini menulis adalah obat bagi Iwan, maka dia terus memaksa menyelesaikan dan mencoba menulis untuk keabadian.
Seperti pengakuan Iwan sendiri, pada bab2 tertentu (saya rasa bab kepergian Ayah), dia bahkan beberapa kali berhenti sebelum memulainya kembali. Sosok Ayah yang akhirnya berpulang, setelah nyaris 40 tahun mendampingi Ibuk dan bekerja keras setiap hari agar setiap buah cinta mereka dapat bersekolah dengan layak. Berbeda dengan teknik penulisandi 9S10A yang digambarkan sebagai pertemuan maya antara Iwan masa kecil dengan Iwan dewasa, Ibuk ditulis dengan apa adanya. Kenapa Iwan memilih judul Ibuk sedangkan bagi saya judul Ayah tidak kurang bagus-nya, saya tidak tahu persis, apakah karena seorang anak lelaki memang lebih dekat dengan ibu-nya ? bisa jadi, namun hanya Iwan yang bisa menjawab.





No comments: