Monday, July 16, 2012

Fly From Here - Yes

Sedih juga tidak sempat eksplorasi album ini sebelum menyaksikan konser mereka di Jakarta, karena track2 dalam album ini ternyata merupakan komposisi yang dominan dalam konser tersebut. Tertarik dengan komposisi “Into The Storm” dan visualisasi indah di back screen dengan menggambarkan Mercusuar di tengah badai, saya memutuskan untuk eksplorasi album studio ke duapuluh Yes ini.
Meski berhasil “menemukan” Benoit David untuk produksi album ini namun anehnya world tour album ini justru dilakukan bersama Jon Davison. Jika vokal Jon Anderson dijadikan sebagai standar, saya berpendapat kualitas vokal Jon Davison lebih sesuai untuk Yes dibanding Benoit David. Dan jujur saja mendengar Davison bernyanyi nyaris tak ada bedanya dengan ketika Anderson masih di Yes.
1)      Fly from Here – Overture 1:53 (***)
2)      Fly from Here
a)      Part I - We Can Fly 6:00 (****)
b)      Part II - Sad Night at the Airfield 6:41 (****)
c)       Part III - Madman at the Screens 5:16 (***)
d)      Part IV - Bumpy Ride 2:15 (***)
e)      Part V - We Can Fly (Reprise) 1:44 (****)
3)      The Man You Always Wanted Me to Be 5:07 (****)
4)      Life on a Film Set 5:01 (****)
5)      Hour of Need 3:07 (****)
6)      Solitaire 3:30 (****)
7)      Into the Storm 6:54 (****)

Kembali ke album ini, jika masih ada yang menyayangkan tidak terlibatnya Jon Anderson dalam album ini, sebenarnya hal itu tidak perlu, karena ini bukan hal yang pertama kali terjadi, sebagaimana album Drama (1980), saat posisi Jon digantikan oleh Trevor Horn, namun justru mampu  menjadi salah satu album Yes terbaik. Setelah Drama,  Jon Anderson gabung lagi, namun lagi2 setelah setelah Big Generator (1987) Anderson kembali hengkang dan join dalam ABWH yang sering dianggap orang sebagai album Yes tanpa Squire. Lalu bergabung lagi namun Jon Anderson kembali hengkang setelah Magnification (2001).  
Meski saat di Jakarta Downes dan White terkesan kedodoran dan untungnya diselamatkan Steve Howe yang bermain dingin, namun kualitas studio album ini tetap oke. Memang sebagian pendapat mengatakan kompleksitas-nya terasa kurang serta terkesan banyak pengulangan.  Namun album era Trevor Rabin justru lebih “ngepop” bagi band yang mengklaim dirinya sebagai progressive, jadi bagi saya album ini masih oke, bahkan beberapa track ala Howe seperti  “Hour of Need” dan “Solitaire” mampu mengangkat nilainya lebih tinggi.
Album ini sendiri berawal dari proyek Horn dan Downes bernama “We Can Fly From Here”, sebagai ide yang mereka bawa bagi Yes saat bergabung menggantikan Wakeman dan Anderson yang “hengkang” setelah album “Tormato”, namun saat itu materi album ini ditolak dan akhirnya lahir lah album “Drama”. Ajaib-nya 22 tahun kemudian barulah materi ini menjadi cikal bakal album “Fly From Here” dengan Downes menggantikan Oliver Wakeman, dan Trevor Horn kali ini sebagai bukan vokalis melainkan produser.
Judul album ini menggunakan track terpanjang yaitu “Fly From Here” track selama 25 menit yang terbagi menjadi enam bagian. Pada bagian pertama yaitu “Overture”, pembukanya mengingatkan saya akan track “Medieval Overture” dari salah satu album legendaris Return To Forever  yaitu “Romantic Warrior”. Secara umum track ini bagi saya layak memperoleh empat minus. Track2 lain yang asyik  adalah “Hour of Need” yang untungnya meski Howe ikut bernyanyi namun terkesan sebagai latar Benoit David, maklum saya agak sedikit trauma dengan kualitas vokal Howe yang di album solo-nya sering menjadi “pamaeh” kalau kata orang sunda. Solitaire juga dimainkan dengan cantik oleh Howe dan mengingatkan saya akan dua track akustik dahsyat beliau yaitu “The Clap” dan “Mood for A Day” yang pernah dibawakan oleh Steve Morse dalam album tribute to Yes.  Album ini ditutup dengan “Into The Storm” yang dimainkan dengan cantik, dan mengingatkan saya akan style Yes di “Tormato”, tidak terlalu kompleks, tetap dengan khas-nya Yes dan yang paling penting enak di dengar.
Karena dibuat hampir 11 tahun setelah album mereka sebelumnya  “Magnification” di 2011, maka album ini sekaligus merupakan album yang terlama lahir dari Yes. Meski berjarak begitu lama dengan album sebelumnya, secara desain, karena masih dibuat oleh Roger Dean, kesan kesinambungan artistik dengan karya2 sebelum-nya masih sangat terasa. Akhir kata bagi saya album ini tetap layak koleksi sebagai pemungkas album Yes sebelumnya. Salut bagi mbah-nya progressive yang dapat bertahan begitu lama dan tetap idealis.

2 comments:

Budi Rahardjo said...

Banyak orang yang marah / tidak suka dengan album ini karena lagu utamanya merupakan lagu dari the Buggles (ya ... ini group yang terkenal dengan lagu "video killed the radio stars"). Maklum Geoff Downes merupakan kunci bagi keduanya. Setelah saya dengarkan, saya memang lebih menyukai versi Yes. Sudah dengar versi the Buggles-nya?

Husni I. Pohan said...

Belum pernah denger mas, yang versi The Buggles, tapi kalau saja tokoh sekelas Squire dan Howe tidak keberatan, mestinya bukan masalah besar juga, faktanya group seperti Genesis di awal karir juga terpengaruh dengan The Beatles, atau Dream Theater yang membawakan lagu Journey di album Change of Season.