Lantas, bagaimana dengan arti kata Domma ? Aku tidak pasti. Dugaanku nama itu berasal dari singkatan kata indonma atau indomma yang artinya ya ini atau inilah.
Soal nama dan penamaan ini memang bisa menimbulkan protes dari si anak khususnya saat anak beranjak dewasa. Tidak ada orangtua yang ingin memberikan nama yang jelek. Namun kadang zaman berlalu, kosa kata baru timbul, tokoh atau bintang baru muncul, sehingga kadang tidak sejalan dengan nama dan harapan nama yang diemban. Misalnya ada saudaraku yang bernama Riskan (muncul sebelum istilah itu populer), atau temanku yang bernama Koboli (sebelum bahasa pemrograman Cobol muncul), Termasuk juga ayahku yang tidak sreg dengan nama pemberian Ompungku, sehingga nama itu selalu disingkat oleh Ayah. Mungkin Ayah menganggap arti namanya terlalu berat buat diusung, atau tidak cocok dengan kepribadian dan keseharian Ayah, entahlah.
Pernah bahkan Ayah ngomel2, karena ada saudara sepupu Ayah yang belum mengetahui perkembangan kaidah nama Ayah yang terbaru, masih terus memanggil Ayah dengan nama lamanya. Sampai akhirnya Ibu harus turun tangan dengan diam2 memberitahu kepada sang sepupu yang lugu agar berhenti memanggil Ayah dengan sebutan lamanya.
Kembali ke soal2 silaturahmi dan pergaulan. Untuk hal yang satu ini, ayahku memang sering membuat ibuku terkaget2. Mengapa ? ya karena Ayah kerap langsung membawa pulang ke rumah orang yang ditemuinya begitu saja di luaran. Kawan barunya tersebut kemudian akan di bawa Ayah ke rumah dan diajak makan bersama.
Tipe yang diajak ayahku pun bermacam2. Kadang pecatur pinggir jalan, kadang pemuda lontang lantung pengangguran. Malah suatu ketika dengan sepeda motornya pernah pula Ayah mengantar pengemis pulang ke rumahnya sehabis beroperasi di kaki lima (Ayah berhenti mengantar anggota senior partai Kay Pang (kalau mengacu pada cerita silat-nya Khoo Ping Hoo) tersebut, setelah Ayah tahu dari Ibu profesinya yang sebenarnya, bahwa dia hanya action dan berpura2 lemah untuk meraup sedekah, dan memanfaatkan Ayah untuk antar jemput). Hal2 seperti ini kadang dijadikan Ibu bahan gurauan sekaligus referensi untuk mengingatkan dan mengerem kebiasaan Ayah bergaul.
Sewaktu kami tinggal di Sibolga,Tapanuli Tengah, pernah pula ayah membawa ke rumah seorang pelukis tua – yang bertubuh ceking bungkuk dan terus menerus batuk dengan frekuensi yang rendah dan tetap. Pelukis ini baru terbatuk2 dengan gejolak di luar frekuensi tetapnya apabila kuda, gajah ataupun bentengnya tengah terancam, apalagi bila rajanya dalam intaian posisi skak (beliau dan Ayah sama2 hobi catur).
Paman pelukis ini memiliki hidung yang sedikit melengkung (seperti pelatih sepakbola Argentina zaman dulu kala, Cesar Luis Menotti), dengan tatapan tajam menusuk dan menyelidik seperti burung hantu yang tengah mengajar anaknya perkalian dan pecahan.
Saat dia menatapku itu pun , aku sangat yakin bahwa beliau bisa mengetahui dengan tepat jumlah kelereng dalam saku celanaku dan permen Union warna apa yang terselip di gigiku (zaman itu nama permen yang terkenal di daerah Sibolga adalah permen Union, atau permen Hacks yang bergambar orangtua yang tidak pernah berhenti batuk rejan sejak puluhan tahun yang lalu). Saat ini permen seperti itu masih bisa kita temukan misal-nya di Pekanbaru dan memang diproduksi di Malaysia.
Namun semata2 karena profesinya sebagai pelukis, maka bagiku tatapannya laksana ia tengah menyapukan kuas dengan ayunan yang kuat untuk mengecat mukaku. Bibirnya agak tebal melengkung ke bawah – dengan seringai dingin dan tak acuh, sebagaimana umumnya orang yang merasa dalam tahun2 belakangan hidupnya selalu dikecewakan oleh dunia dan seluruh alam semesta.
Tampilannya ini semua masih dilengkapi dengan sepasang lengan bertulang besar dan ujung jari2 yang panjang berurat dengan kuku berwarna kuning kehitaman diresapi nikotin. Itulah sebabnya aku pun tidak bisa lari dari tatapannya saat pertama dikenalkan. Karena sementara beliau menyapukan kuasnya ke mukaku dengan matanya, maka Tangan lainnya dengan kokoh mengulum tanganku yang menjabat jemarinya.
Itulah sebabnya, khusus untuk tamu yang satu ini aku lebih sering mengintipnya dalam radius aman dan terukur dari balik pintu kamar baca (di Sibolga, kami memiliki ’kamar baca’ yang berisikan koleksi buku2 Ayah).
No comments:
Post a Comment