Seingat aku, ada satu lukisan Paman Tua yang tergantung di ruang baca tersebut. Lukisan itu menggambarkan seorang sais pedati yang tua dan bungkuk, dengan pedati kusam dan dihela oleh sapi yang sama tuanya dan anehnya, sama pula bungkuknya.
Lukisan itu berlatar belakang gunung tunggal yang senyap dan posisinya tergantung tak acuh dengan posisi tali yang agak miring diapit jejeran buku Karl May koleksi Ayah. Tepatnya kira2 diapit episode Kara Nirwan Khan di Albania di satu sisi dan episode Dari Baghdad ke Istanbul di sisi lainnya. Sehingga aku berkesimpulan bahwa posisi lukisan ini mestinya menutupi episode Di Pelosok-Pelosok Balkan sekaligus Menjelajah Negeri Skiptar.
Bagiku, efek lukisan itu sendiri cukup dramatis dan mencekam, karena dari kejauhan tampak keseluruhan gerobak tersebut bersama saisnya seolah melayang diantara awan. Perjalanan kakek tua yang entah ke negeri antah berantah itulah yang kadang membuatku cemas. Aku takut kalau2 kakek tua itu tiba2 mengajakku serta.
Meskipun, sejujurnya, apabila pada saat yang bersamaan aku mendadak menoleh ke pelukisnya, aku tidak yakin lagi mana diantara dua obyek itu yang lebih mencekam dan lebih dramatis.
Beliau alias sang pelukis tua ini konon masih terus berusaha menggali dan menanti ilham untuk menelurkan minimal satu masterpiece di senjakala hari tuanya itu. Mengetahui tekad sang pelukis tua tersebut, dengan spontan Ayah menghadiahkan seluruh koleksi gambar2 kalender yang dikumpulkan Ayah sejak usia mudanya.
Tindakan ini pun sempat membuat Ibu sewot beberapa waktu lamanya. Ibu memprotes keroyalan Ayah, karena Ibu sendiri seorang pecinta seni yang gemar gambar2 dan lukisan, dan bahkan sudah memilih beberapa koleksi Ayah untuk dipasangi pigura.
Memanglah tangan ayah selalu terbuka dalam menyambut dan menolong siapa saja. Bahkan yang baru beberapa detik saja dikenalnya. Walaupun berdasarkan pengalaman dan obeservasi Ibu kadang2 sifat terbuka Ayah itu lebih sering mencelakakan Ayah, sehingga Ayah seringkali menjadi korban pemanfaatan oleh orang2 yang baru dikenalnya. Namun itulah, Ayah tidak pernah kapok.
Para tamu2 yang diundang Ayah, biasanya, seusai makan dengan takaran gembul walaupun dengan lauk ala kadarnya, maka sambil memainkan tusuk gigi di mulutnya, akan duduk santai menyeruput kopi bersama Ayah. Setelah mengepulkan asap rokok tembakau lintingan untuk yang ketiga kalinya, dan berbicara panjang lebar kiri kanan muka belakang, maka di akhir pembicaraan yang panjang dan alot itu, terbuktilah bahwa sang tamu tersebut ternyata benarlah masih terhitung kerabat.
Karena ternyata tamu tersebut merupakan tetangga jauh satu kampung, dari kerabatnya kerabat, yang ompung dari ompungnya, pernah diangkat anak oleh familinya, yang terletak di seberang kampung tetangga yang paling ujung.
Akhirnya, dari penelusuran silsilah yang panjang, berliku dan melelahkan, kait mengait dengan nama sejumlah nama tokoh dulu kala, dipadu dengan sejumlah lokasi huta (kampung) dan dirangkai dengan rentetan peristiwa2 prasejarah, maka ditemukanlah hubungan kefamilian (tarombo), bahwa aku harus memanggilnya Uda (Uda artinya adik ayah yang laki2, kalau abang Ayah, kami panggil Uwa’, dan kalau saudari2 Ayah kami panggil Bou),
Sejak status kefamiliannya jelas, terang dan benderang, tuntas dan terdaftar, maka Uda Domma pun tinggal dengan perasan lega, di rumah kontrakan kami. Aku tidak jelas dan tidak ingat di kamar sebelah mana atau di korsi panjang rotan yang mana Uda tidur, karena pada saat itu pun, seorang adik ibuku, yakni Tante Z, juga turut tinggal bersama kami.
No comments:
Post a Comment