Echoes From The Past yah itulah kalimat yang bisa mencerminkan nuansa pada album terakhir Pink Floyd, meski terasa kurang pas bagi fans yang menyukai style di era Waters - Gilmour saat masih bersama-sama dan merilis beberapa album master piece layaknya Dark Side of The Moon (1973), Wish You Were Here (1975), Animals (1977) dan tentu saja The Walls (1979) yang merupakan puncak kolaborasi Waters - Gilmour. Namun bagi fans di era yang lebih awal layaknya Ummagumma (1969) atau Atom Heart Mother (1970) ini merupakan album yang lebih bisa diterima. Saya kira saya sependapat dengan apa yang pernah disampaikan drummer papan atas progressive rock, Mike Portnoy di salah satu socmed beberapa waktu lalu.
Buat saya, yang kebetulan baru saja menikmati Brian Eno album Lux (2012) sepertinya komposisi Lux membantu saya untuk langsung tune in dengan album kelima belas Pink Floyd yang bernuansa psikedelik sekaligus spacey/ambient ini. Bagi para fans, supaya tidak terkejut, perlu juga diketahui bahwa album dengan satu track vokal ini, ini lebih ditepat disebut album instrumental. Perasaan saya mendengar album ini persis seperti ketika mendengar album Pat Metheny Zero Tolerance For Silence, yang memang agak berbeda dengan beberapa album-album sebelumnya (terdengar seperti aktivitas menyetem gitar sepanjang album). Kenapa Pat Metheny ?, ya karena pada beberapa track The Endless River memang terkesan seperti latihan membuat komposisi.
Terdiri dari 18 track plus 3 track bonus khusus deluxe edition. Kita langsung dibawa ke alam antah berantah ala Pink Floyd, Suasana spacey/ambient sangat tercipta berkat keyboardis Richard Wright yang sepertinya mendapatkan porsi cukup banyak dalam album ini.
1.Things Left Unsaid (4:27)
2.It's What We Do (6:18)
3.Ebb and Flow (1:56)
4.Sum (4:49)
5.Skins (2:38)
6.Unsung (1:08)
7.Anisina (3:17)
8.The Lost Art of Conversation (1:43)
9.On Noodle Street (1:43)
10.Night Light (1:43)
11.Allons-y (1) (1:58)
12.Autumn '68 (1:36)
13.Allons-y (2) (1:33)
14.Talkin' Hawkin'(3:30)
15.Calling (3:38)
16.Eyes to Pearls (1:52)
17.Surfacing (2:47)
18.Louder than Words (6:37)
19.TBS9 (2:27)
20.TBS14 (4:11)
21.Nervana (5:39)
Dalam 13 komposisi Wright terlibat secara kolaborasi, dimana 3 diantaranya merupakan karyanya sendiri. Sementara Gilmour 18 kolaborasi dimana 6 merupakan karyanya sendiri. Saat mendengar publikasi album ini, entah kenapa saya merasa ini akan menjadi album terakhir mereka mengingat sebagian besar sudah berusia cukup lanjut, yakni Gilmour (1946), Nick Mason (1944) dan jangan lupa meski Richard Wright (1943) terlibat dalam album ini, beliau sebenarnya sudah meninggal tahun 2008. Ternyata sesuai dengan pernyataan yang disampaikan Gilmour sendiri, adalah tak akan ada lagi album setelah ini. Sayangnya dampak perseteruan Pink Floyd dengan Waters tetap berlanjut sehingga Waters sejak 1985 tetap saja berada di luar rumah besar Pink Floyd hingga kini.
Lantas bagaimana mungkin album ini dibuat sementara Wright sudah meninggal dunia, sebenarnya materi dalam album ini merupakan rekaman antara 1993 sd 1994 saat merekam album Division Bell (1994). Karena memang merupakan kumpulan sesi rekaman yang tak pernah dirilis, maka materi sepanjang 20 jam ini diseleksi ulang oleh Gilmour sejak 2013 sd 2014. Namun nama besar mereka dan konsep album yang dibuat Ahmed Emad Eldin (anak muda asal Mesir yang ternyata juga fans Pink Floyd) turut mendukung popularitas album sehingga cukup baik secara komersil. Menurut pendapat saya, sama sekali tidak jadi masalah besar bagi fans sekedar untuk melengkapi koleksi Pink Floyd mereka dengan satu album terakhir, layaknya puzzle yang hampir selesai merefleksikan perjalanan panjang Pink Floyd, dengan The Endless River sebagai kepingan terakhir sekaligus pelangkap.
Beberapa musisi tamu dilibatkan seperti saksoponis Gilad Atzmon, basis Guy Pratt, juga backing vocal seperti di track 7 dan 17 melibatkan Durga McBroom. Sedangkan lirik di satu-satunya lagu dengan vocal Gilmour dibuat oleh Polly Samson yang juga merupakan istri Gilmour.
Didahului suara suara diluar musik seperti orang yang bercakap cakap maka perjalanan psikedelik dalam album ini pun dimulai. Track 2 merupakan lanjutan secara bunyi dari track 1, sound Hammond yang dipilih Wright sangat khas dan bernuansa sekian puluh tahun lalu mengingatkan saya akan almarhum keyboardist Jon Lord. Lanjut ke track 3, 4, 5 dan 6 masih setipe. Pada track 7 barulah kita mendengar suara nyanyian, itu pun hanya dalam bentuk paduan suara. Pada track 7 ini sound gitar yang dipilih Gilmour terkesan cempreng dan tidak magis layaknya salah satu sound track favorit saya Comfortable Numb dalam album The Wall.
Lalu track 8,9,10,11,12,13 berlalu dengan begitu saja, namun di track 14 kejutan bagi saya mendengar Stephen Hawking ikut terlibat menjelang 3/5 track berakhir, untung saja beliau tidak ikut bernyanyi. Pada track 14 ini lagi-lagi kita mendengar paduan suara. Lalu berlanjut sampai ketemu track 17 yang mirip dengan 7. Akhirnya di track 18 kita bisa juga mendengar suara asiknya Gilmour dalam bentuk lagu utuh. Entah apakah Gilmour sudah mengganti stelan single coil di Fender Stratocasternya, saya merasa sound gitarnya sedikit berubah menjadi lebih crunchy. Sementara Nick Mason bermain kalem disetiap lagu, dengan ketukan-ketukan standar.
Khusus track bonus 18 dan 19 tidak jelas juga kenapa judulnya TBS9 dan TBS14, dan lalu album ini berakhir di track 21. Bagi saya sebenarnya lebih baik kalau album yang didedikasikan bagi Richard Wright ini berakhir di track 18 saja, karena track Louder Than Words dengan suara membius Gilmour seharusnya sangat pantas mengakhiri album ini. Buat saya track 7 Anisina, track 14 Talkin Hawkin track 18 Louder Than Words adalah track terbaik dalam album ini. Akhir kata, meski bukan album yang sedahsyat The Wall misalnya, namun rasanya masih bisa disejajarkan dengan kualitas album-album setelah Final Cut. Lalu tibalah saatnya mengucapkan selamat jalan Richard Wright, dan terimakasih banyak atas semua inspirasi lewat musik indah yang sudah anda berikan.
* Sedang membayangkan seandainya saja 10 lagu terbaik RPWL misalnya, Gilmour diundang sebagai vokalis tamu sekaligus gitarisnya, wuihhh... ini akan menjadi album yang lebih baik.
Love is the one thing that transcends time and space.
Dampak teori relativitas Einstein dipaparkan dengan gamblang dalam film ini, Cooper sang pilot pesawat angkasa luar, meninggalkan anaknya saat masih 14 tahun, dan setelah selamat dari salah satu planet yang dicapai via wormhole, lewat video yang dikirim dari bumi, dia baru menyadari usia anaknya sudah sebaya dengan dirinya. Lalu saat menyelamatkan diri untuk kembali ke Bumi dengan masuk melalui Blackhole, akhirnya dia bertemu dengan anaknya yang sudah menjadi seorang Nenek saat menjelang sekarat.
Melengkapi teori Einstein, dalam film ini diadopsi juga pendapat Kip S. Thome salah satu fisikawan yang meyakini bahwa wormhole dengan medan gravitasi tinggi dapat digunakan sebagai mesin waktu. Ceritanya sendiri bermula dari situasi Bumi yang semakin tidak mendukung bagi kehidupan. Tumbuhan yang bisa ditanam relatif hanya jagung, itupun tidak terlalu baik. Debu yang terus menerus menghujani Bumi menyebabkan penyakit, dan bencana bagi ternak serta tanaman-tanaman lainnya. Entah kenapa tidak disebutkan secara jelas kapan kejadian dimaksud, sementara model mobil sepanjang film sepertinya masih model-model saat ini dan teknologi roket pendorong tingkat tiga yang digunakan dalam film, masih merupakan teknologi saat ini.
Karena bintang terdekat berjarak ribuan tahun cahaya, maka tidak ada alternatif lain kecuali menggunakan wormhole dan blackhole untuk mencari lokasi berikutnya bagi peradaban manusia. Jika semesta diibaratkan sebagai selembar kertas, maka saat anda melipat kertas hingga kedua ujungnya bertemu, disitulah wormhole berada, dan itu sebabnya kita dapat menempuh jarak dari ujung semesta yang satu ke ujung yang lain dengan jauh lebih singkat. Misi mereka bertujuan meneliti tiga planet yang diduga dapat menjadi alternatif pengganti Bumi.
Selain berbicara mengenai berbagai macam teori fisika, salah satu yang menarik adalah, hubungan ayah dan anak perempuan digambarkan dengan sangat cantik dalam film ini, apalagi kedua anaknya sudah tak lagi memiliki seorang ibu. Namun hubungan Cooper dengan Ayahnya tidak digambarkan dengan cantik, terutama saat adegan Cooper dengan ekspresi sinis menyebut ayahnya oldman, ketika mengantar kedua anaknya sekolah. Film ini juga mencoba menjawab definisi hantu, sebagai sosok yang terjebak dalam ruang waktu.
Set yang dipilih untuk menggambarkan kehidupan petani jagung yang diperankan oleh Cooper dan ayahnya mengingatkan saya akan film Sign yang dibintangi Mel Gibsond an Joaquin Phoenix. Jika Sign dibesut M Night Shyamalan, maka Insterstellar di besut oleh Christopher Nolan. Meski menurut Nolan dia justru menjadikan film-film selain Sign sebagai referensi yakni 2001: A Space Odyssey (1968), Star Wars: Episode IV – A New Hope (1977), Close Encounters of the Third Kind (1977), Alien (1979), dan Blade Runner (1982).
Adegan film ini dibuka dengan adegan awal yang sangat menarik, saat Cooper dan kedua anaknya menerabas ladang jagung untuk mengejar Drone yang melayang layang rendah di angkasa meski pusat pengendalinya sudah tidak lagi berfungsi sejak 10 tahun lalu. Sambil si sulung menyetir, Cooper menggunakan perangkat komputer jinjingnya untuk mengambil alih Drone dan memanfaatkan sumber daya penangkap energi mataharinya. Saat nyaris saja mereka terhempas ke danau, akhirnya mereka berhasil menaklukkan Drone buatan India tersebut.
Matthew McConnaughey bermain dengan sangat baik disini, kesan pria manis dalam Contact atau metropolitan dalam How to Lose a Guy in 10 Days atau Failure To Launch ,berubah menjadi citra pekerja keras, berwajah letih dengan ekspresi sinis, kehilangan pekerjaan sebagai pilot, ditinggal pergi istri selama-lamanya dan harus mengasuh kedua anak yang masih belum dewasa, menjadi petani jagung saat wabah debu menyerbu bumi, menyiratkan gurat-gurat kecewa dan penderitaan di wajahnya. Demikian bagusnya akting McConnaughey, sampai sampai saya tidak langsung mengenali wajah kerasnyanya dalam film ini.
Anne Hathaway yang terkenal sejak Princess Diaries,bermain biasa saja dalam film ini. Justru akting dahsyat Matthew diimbangi oleh akting pemeran Murphy Law sang anak dengan baik, Murphy anak diperankan oleh McKenzie Foy dan Murphy dewasa yang diperankan oleh Jessica Chastain dua-duanya bermain dengan baik. Pemilihan Michael Caine sebagai Prof. Brand dan Matt Damon sebagai DR. Mann, juga sangat membantu kematangan film ini. Sehingga special effectnya yang terkesan biasa-biasa tidak terlalu mengganggu. Khusus special effect, desain pesawat atau juga desain robot (TARS) yang digunakan memang terkesan out to date, bahkan mesin waktunya Marty (Michael J. Fox) dalam trilogi Back To The Future masih terasa lebih modern. Bagi saya justru Gravity-nya Alfonso Cuaron terlihat lebih baik secara special effect. Hal ini cukup aneh, mengingat Nolan pernah menyutradarai "The Dark Knight Rises" dan "Man of Steel". Untung saja fotografi alam semestanya masih cukup baik (sayang saya tidak menonton versi IMAX yang konon kabarnya lebih dahsyat) , dan Hans Zimmer sebagai komposer mampu mengangkat level film ini dengan scoring berkelas.
Ada juga adegan-adegan yang kurang dikemas dengan baik, misalnya saat Romilly bertemu kembali dengan Cooper dan Brand dengan meninggalkan rekan mereka yang terjebak di Tsunami di Planet Air , dan lalu mengatakan "Aku sudah menunggu selama 23 tahun". Namun sayangnya rias wajah Romilly tidak menimbulkan kesan 23 tahun lebih tua. Selain itu beberapa hal menarik bagi saya;
1.Logo Warner Bros, Paramount, Syncopy and Legendary Pictures terlihat sephia dan berdebu, sebagaimana situasi kota kecil dimana Cooper tinggal.
2. Saat diskusi awal, disebutkan Planet Es, merupakan lokasi aman dari blackhole, namun saat mereka terjebak, ternyata blackholenya cukup dekat.
3. Saat terjadi perdebatan apakah memang terjadi pendaratan di Bulan sangat menarik, karena sampai saat ini memang masih terjadi kontroversi, meski saat ini sudah 2014, kita belum lagi mendengar ada pendaratan lainnya.
Akhirnya film sepanjang nyaris 3 jam ini selesai dengan memberikan kesan positif dan tak terkesan picisan layaknya Armageddon (1998), meski leher terasa sakit sampai Senin pagi keesokan harinya, karena dapat tempat duduk paling depan dan pojok kiri pula. Serta kepala dipenuhi kompleksitas wormhole, blackhole, dunia lima dimensi, pelengkungan waktu, dan lain-lain. Demikianlah akhirnya gambaran misteri diluar sana, sedangkan penciptaan manusia saja masih misteri, apalagi dengan semesta diluar sana. Apa hal terpenting dalam film ini ? tentu saja waktu, karena itu saya tutup review ini dengan (QS. Al ‘Ashr: 1-3).
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”
Sedih mengenang beliau saat membaca buku ini, sejujurnya sebagai negara diluar negara-negara yang sudah maju dan mapan, kita butuh tokoh pemersatu. Setelah Soekarno, dan mungkin sedikit banyak Mahathir Mohammad yang juga sempat di juluki Little Soekarno, Chavez adalah tokoh yang paling pas. Sayang beliau sudah pergi meninggalkan rakyat-nya untuk selama-lamanya. Keberaniannya mengatur dan mengontrol investasi pemerintah asing dan tangan-tangan di belakangnya saat memerintah Venezuela sangat mengagumkan, sementara keberpihakannya pada rakyat benar-benar mengharukan.
Kejutan bagi saya melihat judul buku versi Indonesia, menjadi "Hugo Chavez, Soekarno dari Venezuela". Karena judul asli-nya adalah "Commandante Hugo Chavez's Venezuela". Mungkin akan lebih pas, penempatan kata "Soekarno dari Venezuela" sebagai kata pengantar saja, karena Carroll sendiri tidak mengatakan hal yang persis sama. Memang konon kabarnya Chavez adalah pengagum Soekarno, namun buku ini dibuat oleh Carroll, jadi sudah sepantasnya apa yang ditulis Carroll tidak terkesan dipelintir untuk kepentingan publikasi semata.
Carroll mencatat bahwa Chavez benar benar menggunakan media secara optimal untuk membuat kedekatan secara khusus dengan rakyat-nya. Analogi Carroll terasa kocak, karena saat Chavez memulai pidatonya di televisi, menurut Carroll, dia bisa naik kereta bawah tanah, melintasi kota, membayar beberapa tagihan, menemui seorang teman untuk minum kopi, membeli keperluan, mengambil cucian, pulang kerumah dan Chavez masih saja berbicara.
Melalui media kita bisa melihat Chavez mengumumkan berbagai hal yang tak terduga seperti nasionalisasi, referendum, mobilisasi tentara, pergantian kabinet. Dalam setiap acara Chavez bisa menyanyi, menari, ngerap, mengendarai kuda, tank atau sepeda, menembakkan senjata, menimang bayi, marah, mencium, melucu, termasuk menjadi negarawan atau sesekali menunjukkan sikap otoriternya, tanpa satupun yang bisa melarangnya. Televisi dan radio ada dibawah kekuaasaan Chavez, dan dia bisa interupsi acara apapun dengan hal-hal yang dia anggap penting.
Namun demikian Chavez adalah fenomena, dia menjadi simbol harapan dan kebebasan, bukan cuma bagi Venezuela namun bagi sebagian besar negara dunia ketiga. Chavez lah yang memegang kendali atas industri minyak Venezuela dan mengaturnya agar memberikan keuntungan bagi rakyatnya.Chavez juga menjadi seolah sosok pengganti Simon Bolivar, yang dianggap sebagai penyelamat bangsa-nya. Masih jelas dalam ingatan saat beliau menyebut George W. Bush sebagai setan dan terang-terangan menjalin kerja sama dengan Libia (Qadhafi), Iran (Ahmadinejad) , dan Kuba (Castro) dan bahkan mendukung Argentina soal Falklands/Malvinas.
Bagi Hugo Chavez berbicara di depan rakyatnya adalah suatu kebahagiaan, hal yang biasa bagi beliau untuk berpidato 3 jam-an. Termasuk di tengah guyuran hujan dalam kampanye terakhirnya di Caracas. Chavez meninggal pada hari Selasa 5 Maret 2013, setelah dua tahun mengidap kanker, mengakhiri 14 tahun kepemimpinannya di negara Amerika Selatan ini.Penyakitnya sendiri mengundang kontroversi karena sempat ada dugaan bahwa beliau sebenarnya dibunuh. Beliau wafat dengan meninggalkan pemikirannya tentang kapitalisme, kemerdekaan sebagai hak segala bangsa, penolakan terhadap Eropa Sentris dan mengangkat kebanggaan akan budaya lokal.
Dari beberapa sumber lain selain buku Carroll saya juga menemukan beberapa hal unik mengenai Chavez, seperti
1. Pada Juni 2009, Presiden Chavez melarang peredaran minuman ringan Coke Zero. Dia mengklaim minuman rendah kalori itu tidak sehat, tetapi dia tidak mengelaborasi pernyataannya. "Produk itu harus ditarik dari peredaran untuk menjaga kesehatan warga Venezuela," kata Chavez kala itu.
2. Dalam acara televisi dan radio mingguannya, Alo Presidente, pada Oktober 2005, Chavez juga melarang perayaan Halloween di Venezuela. Dia menilai Halloween adalah "teror kaum imperialis" dan bagian dari tradisi Amerika "menyebar ketakutan ke negara lain, menyebar ketakutan kepada rakyat".
3. Chavez ternyata penggemar berat baseball. Saat mengunjungi AS pada Juni 1999, beberapa bulan setelah dilantik, dia berkesempatan melakukan lemparan pertama di Stadion Shea, New York, dalam laga klub baseball New York Mets. Pemimpin berhaluan sosialis ini juga membunyikan bel penutupan perdagangan di lantai bursa New York.
4. Chavez sangat tidak suka olahraga golf, yang menurutnya adalah olahraga para borjuis. Dia juga menyebut mobil golf adalah perlambang betapa malasnya para pemain golf. Para pengikut setia Chavez kemudian membatalkan dua turnamen golf di negeri itu karena menganggap pemeliharaan lapangan golf sangat besar sementara banyak warga negeri itu hidup dalam kemiskinan.
5.Pada 2005, Chavez mengunjungi South Bronx, New York. Dalam pidatonya di sebuah gereja setempat, Chavez menjanjikan minyak dengan harga murah untuk warga miskin di sana. Lewat Citgo Petroleum, anak perusahaan minyak Venezuela di Amerika, dia menyediakan minyak pemanas dengan potongan harga hingga 40 persen. Citgo juga menjanjikan bantuan 3,6 juta dollar AS selama tiga tahun untuk menciptakan lapangan kerja dan merehabilitasi kawasan itu.
6. Saat berpidato dalam Hari Air Sedunia 2011, Chavez menyatakan kehidupan Planet Mars berakhir karena salah kapitalisme.
7. Meski Chavez bukan fans kapitalisme, tetapi dia adalah pengguna Twitter yang sangat aktif. Hingga wafatnya, Chavez memiliki empat juta followers. Dia bahkan menghadiahi sebuah apartemen baru untuk follower-nya yang ke-tiga juta.
8. Chavez adalah pengagum pemimpin Kuba, Fidel Castro. Dia bahkan bergabung dalam sebuah kuartet untuk menyanyikan lagu "Happy Birthday" merayakan ulang tahun ke-75 Castro pada 2001.
9. Meski garang di dunia politik, Chavez ternyata memiliki sisi artistik juga. Pada Desember 2011, dia memberi Presiden Argentina Cristina Fernandez de Krichner sebuah lukisan dirinya bersama Nestor Kirchner, almarhum suami sang presiden. Ternyata lukisan itu adalah hasil karya Chavez. "Banyak orang tak percaya bahwa saya yang membuat lukisan itu," kata Chavez.
10. Chavez juga membuat Sala de la Esperanza atau Kantor Harapan, yang memroses harapan-harapan rakyat pada pemerintahannya.
Siapa Carroll ? Beliau adalah reporter, begitu juga ayahnya sedangkan ibunya adalah seorang kolumnis yang menurut Carroll adalah penulis terbaik dalam keluarganya. Lahir di Dublin 1972 dan besar di Negeri Tintin karya komikus Herga, yakni Brussels. Carroll pernah bertugas di Roma, Italia, seputaran Mediterrania, Balkan, Pakistan, Afghanistan dan lalu Johannesburg, dan lanjut ke Kongo, Liberia, Zimbabwe, dan juga Irak dan bahkan sempat diculik selama dua hari. Tahun 2006 Carroll ditugaskan ke Amerika Latin, sebagai koresponden. Di Amerika Latin dia mengunjungi Peru, Meksiko, Chili, Nikaragua, dan Haiti untuk meliput berbagai peristiwa dunia di sana. Saat di Amrika Latin tinggal di Caracas ini lah yang membuat dia tertarik untuk membuat buku tentang Chavez. Saat ini Carroll berdomisili di Los Angeles.
Zaman yang rakus,
Bapak makin tak kenal kewajaran kerja
Hidup yang mengembangkan pencurian
Tidaklah mengajari nriman
Dan kemunafikan yang tak terelakkan
Makin menyembunyikan kebenaran
Di tengah beratus wajah penindasan, Bapak
Ajarilah kami bagaimana mampu rela
Membiarkan diri menjadi kuda tunggangan
Waktu telah bergolak
Tak setenang itu air telaga
Langit batinku retak
Tak terucap lagi kata lega lila
Demikian buku Indonesia Bagian dari Desa Saya (IBDDS), karya Emha Ainun Nadjib dimulai. Terdiri dari 3 Bab, yakni Bagian 1, Desa Saya (10 artikel), Bagian 2 Hipokrisi (8 Artikel) dan Bagian 3 Sang Sufi (10 Artikel), bukanlah buku kumpulan esai yang mudah dibaca, khususnya bagi penikmat yang ingin mencerna setiap kata yang ditulis Emha.Uniknya buku yang ditulis sekitar 30 tahun yang lalu ini masih sangat relevan dengan situasi yang kita hadapi kini.
Saya sendiri sempat menghabiskan waktu lebih dari sebulan menyelesaikan tulisan Emha ini, meski diantaranya sempat menyelesaikan satu buku lain. Budayawan favorit almarhum ayah saya ini menulis dengan cerdik setiap kata dan kalimatnya, dan memang perlu waktu untuk mencerna apa yang tersirat.
Beberapa tulisan menarik bagi saya adalah sbb; saat beliau menulis tentang surrealisme kejiwaan dan meminjam istilah dari salah satu master piece lukisan Salvador Dali "Jam Meleleh" menunjukkan luasnya minat beliau di dunia kesenian. Atau ketika kita dibuat terpesona, saat beliau menulis salah kaprah tentang kekuasaan dengan "Kemenangan ialah pasukan, siasat, bala tentara, dan senapan, kemenangan ialah kekuasaan, dan kekuasaan lah satu-satunya jalan menuju kekayaan" dalam kalimat-kalimat bernas.
Dan lalu menulis tentang betapa salah kaprah nya kebanyakan kaum muda saat ini dengan kalimat "ketika kekuasaan yang digandrunginya adalah kekuasaan yang semu, kekayaaan yang dipelototinya adalah kekayaan yang menipu, kemerdekaan yang dicintainya adalah kemerdekaan yang membelenggu" dengan menggunakan akhiran yang sama di ujung kalimat. Lalu tulisan jenaka mengenai jenjang kewiraswastawan mulai dari
"Apa besok makan ?" menjadi
"Besok makan apa ?", dan lalu
"Besok makan dimana ?", dan akhirnya
"Besok makan siapa ?".
Di bagian akhir beliau menulis "Orang-orang mengeksploitasi kehadirannya di bumi hanya untuk menikmatinya, seperti anjing rakus yang mencaplok sepotong roti tanpa peduli tangan yang mengulurkannya". Bagi saya kalimat ini mengingatkan kita akan tujuan kita hidup di Bumi Allah. Benar-benar tulisan yang mencerahkan dan memberikan kita kesempatan untuk merenungkan kembali arah tujuan hidup yang sudah kita pilih.
Sedikit informasi mengenai Emha, beliau lahir di Jombang, 27/5/1953. Beliau memiliki paling tidak lima acara rutin disamping acara-acara tak rutin, seperti Padhang Mbulan (Jombang), Mocopat Syafaat (Yogya), Kenduri Cinta (Jakarta), Gambang Syafaat (Semarang) dan Obor Ilahi (Malang). Hal unik lain yang dilakukan beliau adalah memberi nama bagi para bayi dan sudah sekitar 1000 bayi yang diberi nama oleh beliau.
Bersama Kiai Kanjeng, kelompok musik dan syair pimpinan beliau, sejak 1998 sd 2006, telah lebih dari 22 provinsi, 376 kabupaten, 1.430 kecamatan dan 1.850 desa yang pernah didatangi oleh kelompok musik ini. Begitu juga negeri lain seperti Mesir, Malaysia, Brunei dan negara-negara Eropa seperti Inggris, Jerman, Skotkandia, Finlandia dan Italia.
Uniknya beliau yang merasa dirinya bukanlah penulis ini justru menghasilkan sangat banyak tulisan mulai dari puisi, esai, artikel, naskah drama, cerpen, makalah, hingga buku. Kini beliau yang menikah dengan Novia Kolopaking bersama empat putranya Sabrang, Hayya, Jembar dan Rampak bertempat tinggal di Kadipiro, Yogyakarta.
Saat pertama kali mendengar A.C.T album Circus Pandemonium, saya cukup kaget mendengar aransemen-nya yang sangat rapi, teknik tinggi, paduan suara berlapis ala Queen, suara vokal yang sengau, kadang menggeram, melengking sekaligus serak, serta perubahan beat-nya konstan sepanjang lagu. Group Swedia yang dulunya bernama Fairyland ini jelas menunjukkan skill dan memang ternyata wajar-wajar saja, karena member-membernya merupakan alumni sekolah musik di Malmo.
Digawangi oleh Herman Saming (lead vocals), Ola Andersson (lead guitar, vocals), Peter Asp (bass guitar, synthesizer, percussion), Jerry Sahlin (keyboards/vocals), dan Thomas Lejon (drums & percussion), nyaris tidak ada satupun track yang jelek, semua tampil dengan nilai rata-rata bintang empat dari lima. Semua member juga bermain dengan mantap namun tidak terkesan pamer teknik seperti yang biasa ditunjukkan Dream Theater. Semua solonya terasa pas, kecuali Thomas Lejon yang sempat bermain nakal di track ketiga, namun justru membuat track ini menjadi spesial. Peter Asp juga semoat mencuri perhatian saat memainkan bass dengan style MUSE di track yang sama.
Bagi penggemar progressive rock ringan ala Queen, ACT benar-benar menghibur, group yang berdiri sepuluh tahun setelah Dream Theater merilis Images and Words tahun 1989 (Sekaligus menandai bangkitnya era progressive metal modern) ini ternyata baru merilis lima album. Setelah empat album pertama yang berjarak masing-masing 2 tahun, membutuhkan waktu delapan tahun untuk merilis Circus Pandemonium (2014) setelah album Silence (2006). Saya kira ini waktu yang terlalu lama bahkan untuk band progressive sekalipun yang memang sering kali perlu bertahun-tahun untuk merilis satu album saja. Tetapi untuk album yang nuansanya juga mirip dengan band-band rock Jepang, ini hasilnya sama sekali tidak mengecewakan. Berikut album-album A.C.T
Today's Report (1999)
Imaginary Friends (2001)
Last Epic (2003)
Silence (2006)
Circus Pandemonium (2014)
Ternyata dalam ranah progressive, A.C.T cukup dikenal dan sering menjadi band pembuka bagi Saga, Fish mantan vokalis Marillion atau bahkan dari legenda guitar maestro sweeping alias Yngwie Malmsteen. Mereka sendiri menggambarkan musik mereka sebagai perpaduan band-band favorit yang mereka jadikan sebagai inspirasi seperti Queen, 10CC, Electric Light Orchestra (ELO), Saga,Frank Zappa, Genesis, Jethro Tull, Styx, Rush, Dream Theater, Kansas, Toto and The Beatles. Mengenai musik A.C.T, komentar lucu salah satu sound engineer mereka saya kutip disini memberikan gambaran bagaimana musik progressive dimata kebanyakan
"Guys, I'm starting to understand your music now. First comes an intro, then a verse, then ... Well, then anything can happen."
Mirip dengan Ayreon nya Anthony Arjen Lucassen, yang bergaya opera dengan karakter karakter yang muncul bergantian di setiap track, A.C.T juga menampilkan karakter-karakter dunia sirkus seperti Sinister Ringmaster, Tamer yang dapat berbicara dengan hewan, Clown yang memiliki problem dengan minuman keras, Sang Penari Cantik dan Si Freak, yang memimpikan kehidupan lebih baik.
01 - Intro 1.01 (*)
Ini lebih merupakan pengantar dari album, tak banyak yang bisa dikomentari dalam track pembuka ini, melainkan meneruskan tradisi band-band progressive memasukkan unsur-unsur diluar musik, yang dalam hal ini mencoba menggambarkan penonton sirkus.
02 - The End 5.56 (***)
Bagi saya track ini terlalu manis, sepertinya track ini dipengaruhi Styx, meski di tengah dengan cantiknya A.C.T memasukkan komposisi unik dan solo gitar Ola Andersson serta bergantian dengan solo keyboard Jerry Sahlin. Lalu dihajar sejak menit ketiga dengan gaya progressive metal ala Dream Theater.
03 - Everything's Falling 4.55 (*****)
Disini kita bisa melihat pengaruh Dream Theater, dan MUSE, bagi saya ini salah satu track terbaik. Di menit 1.24, Thomas Lejon memasukkan ketukan ketukan ganjil yang terasa sangat nikmat. Lalu lanjut lagi dengan gaya progressive metal ala Jepang. Ini track favorit saya selain track terakhir.
04 - Manager's Wish 5:53 (****)
Di track ini mulai terlihat gaya opera A.C.T, Herman Saming memainkan berbagai karakter, sementara Ola Anderssson berkali kali memainkan gaya mute dengans senar tunggal yang memberikan efek perkusi, sekaligus asik dan mengingatkan saya akan teknik ala Funky Metal-nya Nuno "Extreme" Bettencourt. Di menit ke tiga saya mendengar style Spock's Beard sempat dimainkan. Dalam track ini terlihat begitu banyak pengaruh yang menjadi inspirasi A.C.T.
05 - A Truly Gifted Man 6.44 (*****)
Track manis, ala reggae namun dimainkan dengan cita rasa The Beatles, yang bagi saya seharusnya sekelas dengan track kedua, alias The End. Namun di bagian-bagian akhir track ini menampilkan solo-solo yang indah yang kembali mendudukkan track ini menjadi salah satu track terbaik dalam album ini sekaligus juga merupakan track terpanjang.
06 - Presentation 1.3 (*)
Track ini mirip seperti Intro, hanya merupakan pengantar ke track-track selanjutnya.
07 - Look At The Freak 1.13 (*****)
Di sini pengaruh Queen sangat terlihat, dengan berbagai karakter vokal, berat dan lalu falsetto berganti-ganti, Herman Saming benar-benar sukses menjadi aktor utama dengan peran ganda, sayang track ini hanya bisa dinikmati tak sampai dua menit.
08 - Argument 1.06 (**)
Track ini juga tak sampai 1.5 menit dan efek suara latarnya bernada amarah, mengingatkan saya akan tokoh guru dalam salah satu album rock terlaris sepanjang zaman, yakni The Wall nya Pink Floyd.
09 - Confrontation 1.12 (***)
Track ini kesempatan bagi Jerry Sahlin menunjukkan kemampuannya eksplorasi keyboard, dan sepertinya cukup sukses, dan lagi-lagi seperti dua track sebelumnya hanya 1.12 menit. Namun track ini mungkin salah satu yang kurang manis bagi telinga kebanyakan.
10 - A Mother's Love 2.37 (*****)
Setelah tiga track pendek dengan gaya eksperimental, rasanya nikmat sekali mendengar track ini, yang sekaligus merupakan satu dari dua ballad yang dimainkan dengan sangat cantik, bergantian dengan vokalis wanita bersuara indah yang mengingatkan saya akan Shadow Gallery track Comfort Me dari album Room V. Sayang keindahan tersebut harus berakhir kurang dari 3 menit.
11 - The Funniest Man Alive 3.46 (****)
Di sini vokal Herman Saming mengingatkan saya akan vokalis Motley Crue, Vince Neil, sengau, serak dan melengking. Solo Ola Andersson dimainkan dengan cantik, begitu juga Jerry Sahlin dan membuat saya heran kenapa solo-solo yang dimainkan A.C.T tak pernah panjang-panjang meski mereka memiliki kualitas lebih dari cukup.
12 - Scared 4.42 (****)
Ada kesan ABBA sekaligus Bee Gees dalam track ini, dan sempat membuat saya cengar cengir, salah satu track paling pop, tak tanggung-tanggung Herman bahkan bisa bernyanyi dengan gaya Barry Gibbs.
13 - A Failed Escape Attempt 5:18 (***)
Lagi lagi gaya band-band rock Jepang terasa sekali di album ini, tak aneh A.C.T memiliki penggemar cukup banyak di Jepang, dan bahkan merilis album Circus Pandemonium yang khusus rilisan Jepang. Gonggongan anjing dalam album ini mengingatkan saya lagi-lagi akan album Animal Pink Floyd. Namun ketukan drum Thomas Lejon yang terkesan ngepop dalam track ini terasa kurang nyaman di telinga saya.
14 - Lady In White 4:40 (****)
Track ini merupakan ballad kedua dalam album ini, lebih keras di banding track 10, namun tetap enak di dengar. Meski nadanya murung, namun A.C.T tetap memadukannya dengan "ejeg-ejeg" ala metal. Peralihan dari beat satu ke beat yang lain mengingatkan saya akan Kansas.
15 - Freak Of Nature 5:59 (*****)
Sesuai dengan tema-nya, track ini diawali dengan aransemen ala sirkus, saya rasa Ola Andersson memainkan solo terbaiknya dalam lagu ini sekaligus menuntaskan track ini sebagai penutup yang sangat pas untuk menuntaskan album keren ini. Di menit 4.0 kita seakan mendengar komposisi ala Dream Theater yang megah dan sekaligus sahdu, Thomas mengakhiri track ini dengan beragam fill in layaknya Portnoy dalam salah satu track di Scene From a Memory.
Setelah membaca Imperia (alias buku pertama) beberapa tahun lalu, saya kaget juga kalau ternyata muncul lagi buku kedua Rahasia Imperia, yang konon kabarnya akan menjadi trilogi layaknya karya Stieg Larsson. Seperti biasa, Akmal menghujani kita dengan banyak sekali informasi, namun berbeda dengan buku pertama, yang banyak menyinggung musik, kali ini suasana classic rock sama sekali tidak terbangun.
Sesuai penjelasan Akmal, buku pertama yang berjudul Imperia ternyata kini telah berganti nama menjadi Ilusi Imperia, dengan beberapa perubahan, namun saya sendiri tidak membelinya kembali, karena sesuai penjelasan Akmal, tidak banyak perubahan antara kedua edisi tersebut. Saya kira Akmal tadinya tidak berniat membuat buku ini menjadi trilogi mengingat jarak antara buku pertama dan kedua saja nyaris 10 tahun.
Sebagaimana buku pertama, lagi-lagi saya merasa MC alias Melani Capricia, sangat mirip dengan karakter Krisdayanti, begitu juga dengan tokoh-tokoh lain dengan Dimensi sebagai kembaran fiktif majalah Tempo. Berbeda dengan buku pertama yang banyak menyinggung Rangga Tohjaya, Marendra (suami MC), Tomo, Arlien, kali ini fokus bergeser ke mbak Meis, Adel dan tentu saja MC serta beberapa agen interpol yang ditugaskan untuk menyelidiki penyelundupan artefak bernilai historis tinggi. Tak ketinggalan Jendral Pur sebagai tokoh antagonis utama, sebagai dalang dibalik semua skenario.
Rahasia Imperia juga tidak sevulgar buku pertama saat menggambarkan adegan kemesraan Jendral Pur, meski tetap kurang nyaman saat Akmal menggambarkan seksualitas Wikan saat misalnya bertemu Jendral Pur, Stefan (putra mbak Meis) atau saat terpancing adegan film di kamar dimana dia menginap. Entah kenapa saya merasa novel ini seharusnya bisa berada di kelas yang lebih tinggi dengan menghilangkan bagian-bagian tersebut.
Penokohan Wikan diawal awal cerita juga terasa serba tanggung, dia lebih mirip boneka yang mengikuti berbagai skenario yang dijalankan orang-orang di sekelilingnya dibanding tokoh utama. Apakah situasi ini memang disengaja oleh Akmal ? bisa saja. Namun di akhir cerita tiba-tiba dengan beraninya Wikan membuka topeng Jendral Pur Sang Dalang dan kroninya (yang ternyata salah satu bos Wikan di majalah Dimensi) secara gamblang dan saya kira perubahan ini , cukup mengagetkan bagi pembaca. Situasi ini juga mengingatkan saya akan buku pertama dimana Adel mendadak membuka semua selubung misterius yang ada.
Secara umum cerita dalam Rahasia Imperia juga lebih kompleks dengan mengangkat mafia Albania dan konspirasi mereka dengan Neo Nazi sebagai latar belakang, belum lagi komunitas pengguna drugs dengan segala macam gaya hidupnya, melengkapi cinta segitiga Adel, MC dan Stefan plus ramuan bumbu pedagang artefak bernilai sejarah tinggi. Entah benar entah tidak buku ini juga mengungkap “praktek terselubung” antara media dan tokoh-tokoh penting di baliknya, dengan kita masyarakat awam sebagai korbannya. Akmal juga tak tangung-tanggung sengaja “mengakhiri hidup” Melani Capricia di Masjid Yavuz Sultan Selim, Mannheim dan Adelia di Lindenhof, Zürich dan dengan demikian membangun sebuah tanda tanya besar sekaligus nyawa dari novel ini sepanjang cerita.
Sebagai wartawan yang pernah bekerja di majalah berita mingguan Gatra (1994-1998), Gamma (1999), sebelum bekerja di majalah Tempo (2004-sekarang) Akmal juga ternyata pendiri dan pemimpin redaksi majalah digital @-ha (2000-2001), serta MTV Trax (2002) yang kini dikenal dengan Trax saja. Dengan latar belakang ini, tak aneh jika pengetahuan Akmal terbilang luas dan tulisannya lancar mengalir.
Untuk melengkapi review saya kali ini, berikut ini beberapa link review saya, terkait karya Akmal yang lain serta trilogi Stieg Larsson.
http://hipohan.blogspot.com/2006/07/review-imperia-akmal-nasery-basral.html
http://hipohan.blogspot.com/2012/09/the-girl-who-played-with-fire-nya-stieg.html
http://hipohan.blogspot.com/2012/08/the-girl-who-kicked-hornets-nest-nya.html
http://hipohan.blogspot.com/2012/08/the-girl-with-dragon-tatto-nya-stieg.html
Saya tutup review kali ini dengan quotes Akmal dalam buku pertama sbb;
“Latih dirimu untuk selalu yakin pada apa yang kamu kerjakan, dan kerjakanlah sepenuh hati. Kalau kau sudah melakukan ini, maka kesuksesan dan kegagalan adalah konsekuensi yang tak akan membahayakan kestabilan jiwamu. Kau tak akan mudah terbius oleh kesuksesan, sebagaiman kau tak akan mudah patah oleh kegagalan. Nikmati saja seperti kau menikmati cerahnya siang dan merindukan gelapnya malam.”
Labbaika allahumma labbaik,
labbaika laa syariikalaka labbaik,
innalhamda wanni’mata laka,
walmuka laa syariikalak
Aku datang memenuhi panggilanMu ya Allah,
aku datang memenuhi panggilanMu,
ya Allah aku penuhi panggilanMu,
tidak ada sekutu bagiMu.
Sesungguhnya segala puji,
segala nikmat dan
segala kekuasaan adalah milikMu semata.
Tidak ada sekutu bagiMu.
Materi ini sudah lama tersimpan di kepala, karena rasanya masih saja tidak ada waktu untuk menuliskannya kembali. Namun di dorong niat yang kuat untuk berbagi, saya putuskan untuk menyelesaikannya, semoga bermanfat bagi yang ingin berkunjung ke Tanah Suci, Aamiin YRA. Untuk yang masih harus menunggu lama karena pembatasan dari Pemerintah Arab Saudi, tidak ada salahnya jika rezeki cukup, kita memilih untuk menjalankan umrah terlebih dahulu, hal ini akan sangat membantu kita memahami bagaimana Ibadah Haji seharusnya dijalankan.
Setelah anak-anak bisa menerima rencana saya dan istri akan melakukan perjalanan Haji, maka kamipun mulai memilih milih program apa yang kira-kira cocok untuk diikuti. Karena merasa nyaman dengan Khalifah Tour saat umrah, kami memutuskan untuk mengikuti ONH Plus dari Khalifah Tour kembali. Tadinya istri ingin memilih program 17 hari (Maghfirah) dibanding program 23 hari (Rahmah) . Sedangkan alokasi kamarnya mengambil yang sekamar berempat, artinya dia bersama tiga wanita lain-nya, sedangkan saya bersama tiga pria lain-nya. Kenapa tidak regular ?, sejujurnya secara waktu sangat sulit bagi kami ditambah kondisi anak2 yang masih belum dewasa. Namun jika anda mengira ONH Plus berarti segala sesuatunya pelayanan plus, maka anda bisa jadi salah, karena itu sebaik-baiknya bekal adalah kesabaran dan keikhlasan, yang nantinya kami buktikan sendiri, saat berjam jam terjebak di Bandara Jeddah menunggu pesawat yang tak kunjung lepas landas atau sanitasi di Arafah misalnya yang kurang lebih sama saja, jadi lebih baik menyiapkan diri anda untuk hal-hal yang terburuk yang bisa terjadi dengan bekal sabar dan ikhlas.
Karena menurut saya akan menyulitkan koordinasi, maka saya memilih untuk mengambil program 23 hari tetapi dengan sekamar berdua. Secara biaya kurang lebih sama dengan program 17 hari sekamar berempat, namun lebih lama di tanah suci dan mudah-nya koordinasi dengan istri membuat saya memilih program ini. Sekamar berdua tidak berarti kami akan selalu berdua selama 23 hari, karena menjelang ibadah Haji yang sebenarnya antara pria dan wanita akan dipisahkan di Aziziah, begitu juga di Mina serta Arafah, dan begitu juga saat kembali ke Aziziah dan baru bisa kembali bersama di Jeddah menjelang pulang ke Tanah Air.
Lalu kami secara resmi mendaftar di awal 2010 dengan asumsi akan berangkat di 2013. Namun ternyata beberapa minggu kemudian secara mengejutkan, kami mendapatkan informasi bahwa ada alokasi jatah keberangkatan di tahun yang sama. Meski bahagia namun kami juga disertai rasa was-was. Jujur saya masih merasa belum siap. Seperti yang pernah di tulis oleh Utstadz Budi Prayitno, pergi Haji adalah belajar mati, yakni belajar ikhlas berpisah dengan dunia, lalu belajar menerima semua ketentuan Allah selama menjalankan ibadah.
Selama berinteraksi dengan manajemen travel, entah karena suara saya yang berkarakter bariton, pihak Khalifah Tour meminta saya sebagai pemimpin rombongan Regu 1, setelah diskusi dengan istri, saya memutuskan untuk menerima tanggung jawab tersebut. Tugas-nya antara lain memastikan semua anggota rombongan lengkap, sebagai penghubung dengan manajemen mana kala ada jamaah yang berhalangan seperti sakit, dll. Saya juga harus memberi perhatian khusus pada jamaah yang berusia lanjut, agar selalu dapat bersama-sama rombongan dalam melakukan semua ibadah.
Sebelum berangkat saya dan istri, membuat surat wasiat, dengan menunjuk salah satu saudara kami yang bersedia mengurus segala sesuatu jika ada hal-hal yang tak diinginkan terjadi.
Tak lupa kami siapkan berbagai telepon penting, dokumen-dokumen kendaraan, tabungan, asuransi, rumah, dll Lalu serangkaian nasihat bagi kedua anak kami. Khususnya mengenai apa-apa yang harus dilakukan manakala terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Setiap kali pembicaraan di mulai, si bungsu selalu terlihat murung, sebaliknya anak sulung kami terlihat sangat dewasa dalam menanggapi semua pesan-pesan kami. Lalu saya meminta tolong Ibu kandung saya yang sudah berusia 74 tahun menemani kedua anak kami tinggal dirumah selama kepergian kami.
Lanjut ke http://hipohan.blogspot.co.id/2014/11/berangkat-haji-skedul-haji-part-2-dari.html
Secara umum, acara yang berhubungan langsung dengan Ibadah Haji adalah dari tanggal 9 sd 12 Dzullhijjah, acara-acara lain sifatnya adalah pelengkap sambil menunggu saat Ibadah Haji tiba. Kami berangkat Kamis 28/10/2010 dan insya Allah tiba tanggal Sabtu 20/11/2010.
Mungkin banyak yang bertanya-tanya, lantas kenapa Ibadah Haji bisa begitu lama, jika yang utamanya hanya beberapa hari ? Seperti yang kita ketahui, konsentrasi massa sangatlah luar biasa, sehingga pendaratan di bandara misalnya harus diatur karena sangat tidak memungkinkan untuk mendaratkan begitu banyak jamaah di waktu yang sempit, sehingga jauh sebelum Ibadah Haji dimulai, jamaah sudah mulai datang rombongan demi rombongan. Begitu juga yang terjadi dengan saat kepulangan, yang datang duluan biasanya juga pulang duluan, sedangkan yang datang belakangan juga pulangnya belakangan. Itu sebabnya jamaah regular dapat menghabiskan waktu nyaris 40 hari, namun saat-saat tersebut diisi dengan ke Madinah misalnya, mengunjungi makam Nabi dan banyak lokasi-lokasi bersejarah lainnya.
Lalu saya mempelajari skedul selama disana untuk program 23 hari. Dalam prakteknya akan titik-titik dimana rombongan program 23 hari akan bertemu dengan rombongan program 17 hari. Secara lengkap inilah skedul yang kami gunakan selama ibadah.
Kamis 20 Dzulqadah (28/10/2010) :
Bandung – Jakarta – Mekkah (Flight GA 9303) dengan agenda menuju Miqat, Ihram, menuju Mekkah, transfer ke Hilton Makkah Tower, lalu lanjut dengan thawaf, Sa’i dan Tahallul.
Jumat 21 sd Senin 24 Dzulqadah :
Ibadah di seputaran Masjidil Haram, pengajian sambil berkunjung ke Jamarat, Arafah, Jabal Rahmah, Masjid Namirah, Muzdalifah, Mina, Jabal Nur, Jabal Tsur, Masjid Kheif, Maulid Nabi , dan Ma’la.
Selasa 25 Dzulqadah:
Menuju Madinah dan transfer ke Al Anwar Movenpick Hotel .
Rabu 26 Dzulqadah sd Rabu 4 Dzulhijjah :
Ibadah diseputaran Masjid Nabawi, pengajian, ke Raudhah, makam Nabi dan sahabat, lalu ke Uhud, Khandak, Masjid Quba, Masjid Qiblatain, Masjid Khomsah, lalu wisata ke Kebun Kurma, dan Jabal Magnet.
Kamis 5 Dzulhijjah sd Jumat 7 Dzulhijjah :
Menuju Mekkah dan menginap di Apartemen Aziziah, sambil melakukan ibadah rutin serta pengajian di Aziziah.
Sabtu 8 Dzulhijjah :
Berangkat ke Mina untuk Mabit, transfer ke Maktab.
Senin 9 Dzulhijjah :
Mina – Arafah (Wukuf) – Muzdalifah (Mabit) untuk mengambil batu bagi persiapan melontar Jumratul.
Selasa 10 Dzulhijjah :
Muzdalifah – Makkah (Thawaf Ifadha dan Sa’i) – Mina (Melontar Jumratul pertama)
Rabu 11 sd Kamis 12 Dzulhijjah :
Melontar jumratul kedua dan ketiga baik Ulo, Wustho maupun Aqabah. Lalu di 12 Dzulhijjah setelah melontar jumratul kembali ke Apartemen Aziziah.
Jumat 13 Dzulhijjah :
Thawaf Wada dan lalu menuju Jeddah.
Sabtu 14 Dzulhijjah (20/11/2010) :
Kembali ke Jakarta (Flight GA 9332) dan sampai Minggu 15 Dzulhijjah (21/11/2010).
Lanjut ke http://hipohan.blogspot.co.id/2014/11/berangkat-haji-saat-berangkat-part-3.html
Karena saya dan istri kurang setuju Walimatul Syafar dengan cara mengundang seluruh tetangga, saat berangkat justru satu persatu tetangga kami datangi langsung, meminta maaf atas kata maupun perbuatan serta membawa buah tangan Al Quran produksi Syamil serta titipan agar minta didoakan. Kenapa kami berdua kurang setuju ?, menurut hemat kami esensinya adalah meminta maaf sebelum berangkat, sebagai pihak yang meminta maaf akan lebih pas jika kamilah yang rumah tetangga dimaksud satu demi satu menjelang keberangkatan. Jelas “effort”nya lebih besar namun ternyata lebih nyaman di hati.
Perlengkapan utama kami, terdiri dari masing-masing satu koper besar, satu koper kecil, kantung kain seukuran kresek berwarna pink cerah (sesuai dengan warna ciri khas travel), yang nanti gunanya adalah untuk menyimpan sandal saat masuk Nabawi dan Haram, dan juga Al Qur’an. Saat itu saya masih belum menyangka selain berpisah dengan seluruh harta dan anak, kami pun nantinya berpisah satu persatu dengan koper besar di Aziziah dan lalu koper kecil di Mina.
Kami berangkat dengan titik kumpul di masjid PUSDAI di jalan Supratman, anak-anak mengantar dengan wajah sedih. Sebelumnya kami sudah mengundang hanya keluarga besar saja untuk acara pelepasan dan minta maaf sekiranya ada kata maupun perbuatan yang salah selama ini. Semakin dekat ke hari keberangkatan perasaan saya semakin galau, namun karena percaya bahwa ini adalah kehendakNya, saya mencoba menguatkan hati.
Si Bungsu menangis sedih saat kami melambai dari balik bus yang membawa kami ke Bandara Soekarno Hatta. Rasanya hati ini hancur melihat kedua anak2 kami membalas melambaikan tangan diiringi pecahnya tangis histeris Si Bungsu dalam pelukan nenek-nya. Perlahan lahan mereka terlihat mengecil dan akhirnya lenyap dari pandangan.
Hemm benar juga perjalanan ini bagaikan menjemput kematian, dan diingatkan bahwa kelak semuanya akan kita tinggalkan, hanya ilmu yang bermanfaat, anak yang soleh dan harta yang diwakafkan lah kelak menjadi satu-satunya jalan untuk amal yang tak putus. Rumah, kendaraan, anak2, tabungan, pekerjaan, semua kami tinggalkan untuk memenuhi undanganMu ya Allah.
Karena sebelumnya sudah sempat umrah, kali ini saya tidak begitu kaget melihat sebagian jamaah sudah siap-siap berihram di pesawat, sementara saya memilih untuk melakukannya setelah tiba di Jeddah. Setibanya di Jeddah seperti biasa rombongan berhenti untuk makan dan mandi di rumah sewaan penduduk, untuk segera memulai tawaf di Mekkah.
Sangat beruntung karena kami ternyata bisa langsung masuk ke kota Mekkah tanpa perlu menunggu terlalu lama di bandara, sedangkan belakangan baru kami tahu rombongan program 17 hari sempat terkatung katung saat mau masuk.
Saat tiba di Makkah, mendadak saya ingat cerita seorang sahabat yang keheranan akan bersihnya Kabbah meski begitu banyak merpati berterbangan disekitar Mekkah, tiba-tiba dia menyadari kepala dan pakaian-nya terkena kotoran merpati saat itu juga. Satu hal yang sering dilupakan orang, sebenar-nya Kabbah bersih karena memang penutup-nya (kiswah) dibersihkan atau bahkan diganti secara perodik. Sebagaimana Hajar Aswad harum ya memang karena di beri pewangi secara rutin oleh petugas. Namun demikian sudah selayaknya kita lebih fokus pada esensi Kabbah sebagai arah kiblat, atau Hajar Aswad yang menjadi saksi bagaimana semua suku dipersatukan oleh Nabi Muhammad dengan memberi kesempatan setiap perwakilan memegang pinggiran kain pengangkat-nya.
Berbeda dengan saat umrah tahun 2009 dimana anak-anak terkena demam tinggi serta demam berdarah sehingga tidak bisa bersama sama mengunjungi lokasi tertentu seperti makam Khadijah RA. Kali ini kami bisa mengunjungi makam tersebut menuntaskan hutang setahun yang lalu. Namun wajah anak-anak rasanya selalu membayangi, sebagai keluarga yang sering jalan bersama-sama, rasanya aneh kali ini mereka tidak ikut dengan kami.
Meski di Mekkah ada begitu banyak jamaah, namun tidak semua menjalankan ibadah-nya dengan baik. Seperti suatu hari saat seorang pria bersepatu boot dan dengan cuek-nya masuk ke daerah Ibu-Ibu di Masjidil Haram sehingga terpaksa saya tegur dengan keras. Sangat sulit untuk menahan diri melihat hal seperti ini, meski banyak yang mengatakan kunci kenikmatan ibadah Haji adalah kesabaran . Setelah ini masih berkali kali saya mengalami ujian kesabaran.
Karena padatnya jamaah tawaf, sangat disarankan bagi yang menggunakan kursi roda, tongkat ataupun karena usia, menggunakan lantai yang lebih tinggi. Saya beruntung sekali, mendapat kesempatan untuk menolong saat melihat seorang pria berkursi roda yang tak dapat melalui tangga. Meski lebih lega dan spektakulernya pemandangan, lantai atas memiliki rute keliling yang lebih jauh.
Tumit saya sempat berdarah beberapa kali ditabrak kursi roda sewaan, maklum disini ada banyak joki kursi roda yang sangat cepat mendorong kursinya untuk memastikan mereka mendapat pelanggan berikutnya tanpa harus kehilangan banyak waktu. Dengan sangat terpaksa saya menegur si joki, meski setelahnya menyesal, karena “sabar” mestinya adalah salah satu perlengkapan wajib yang perlu dibawa jamaah.
Saat menunggu Isya, saya dan istri memilih tempat favorit di lantai paling atas Masjidil Haram sambil menunggu adzan. Lokasi ini persis di depan jam Zamzam serta dekat dengan tiga kubah emas kembar. Saat umrah lantai atas baik di Nabawi maupun di Haram biasanya tidak dapat diakses.
Salah satu hal yang sulit dilupakan di Mekkah adalah air zamzam yang berlimpah ruah. Jika di Indonesia kita harus berhemat karena persediaan yang sangat terbatas. Di sekitar Masjidil Haram, kita benar-benar dipuaskan. Selain zamzam dengan suhu normal, juga disediakan zamzam dengan suhu dingin. Saya sendiri memilih untuk mencampur airnya, karena merasa masih terlalu dingin, tak heran di Masjidil Haram kita sangat sering mendengar jamaah batuk, karena terlalu sering meminum air zamzam dingin. Jangan kuatir dengan air zamzam di Nabawi, pemerintah Arab Saudi sudah memiliki mekanisme untuk memastikan air zamzam juga dapat dinikmati di Nabawi.
Untuk tawaf dinihari disarankan untuk datang jauh sebelum adzan Subuh, karena kadang setengah sampai satu jam sebelumnya jamaah sudah tidak diperkenankan untuk tawaf untuk memberikan kenyamanan bagi yang akan sholat.
Saat letih, saya menyandarkan punggung ke dinding dengan telapak kaki menghadap Kabbah, namun seorang jamaah dari negara lain menegur saya, dan melarang untuk melakukan hal tsb. Maklum sejak remaja duduk bersila dalam waktu yang lama, selalu membuat kaki saya kesemutan.
Sholat di Masjidil Haram juga mengingatkan kita akan mati, yang kelak akan mendatangi kita tanpa di duga-duga. Hampir setiap hari selalu ada yang meninggal. Dan begitu diumumkan, maka berlangsunglah sholat jenazah. Saya jadi ingat postingan seorang teman yang mengatakan butuh berjam-jam untuk merapikan barisan jutaan , namun ternyata di Masjidil Haram, saat sholat hanya dibutuhkan dua menit bagi jutaan jamaah untuk berbaris rapi saat shalat.
Ada sedikit pengalaman konyol saat di Haram, berbeda dengan Madinah yang membatasi interaksi antara jamaah wanita dan pria, di Haram relatif tercampur. Saat sholat barisan manjadi begitu rapat dan jangan heran kalau tiba-tiba ada yang menabrak anda dari belakang atau menginjak tangan dan kaki anda saat sholat. Saya sendiri mengalami sujud di Haram namun saat duduk setelah sujud ternyata berada di Gua Hira, lahhh kenapa ? maklum kepala saya masuk dalam gaun hitam milik seorang ibu berbadan ekstra besar.
Hal unik lainnya adalah rusaknya tumit, maklum di Haram semua pria tanpa alas kaki, melakukan sa’i dan lalu berkali kali tawaf di udara kering dan panas, menyebabkan tumit pecah-pecah. Adalah hal yang biasa melihat “kaligrafi” di tumit para jamaah. Namun bagi jamaah wanita, mereka justru menggunakan kaos kaki sehingga dampaknya relatif lebih ringan.