Zaman yang rakus,
Bapak makin tak kenal kewajaran kerja
Hidup yang mengembangkan pencurian
Tidaklah mengajari nriman
Dan kemunafikan yang tak terelakkan
Makin menyembunyikan kebenaran
Di tengah beratus wajah penindasan, Bapak
Ajarilah kami bagaimana mampu rela
Membiarkan diri menjadi kuda tunggangan
Waktu telah bergolak
Tak setenang itu air telaga
Langit batinku retak
Tak terucap lagi kata lega lila
Demikian buku Indonesia Bagian dari Desa Saya (IBDDS), karya Emha Ainun Nadjib dimulai. Terdiri dari 3 Bab, yakni Bagian 1, Desa Saya (10 artikel), Bagian 2 Hipokrisi (8 Artikel) dan Bagian 3 Sang Sufi (10 Artikel), bukanlah buku kumpulan esai yang mudah dibaca, khususnya bagi penikmat yang ingin mencerna setiap kata yang ditulis Emha.Uniknya buku yang ditulis sekitar 30 tahun yang lalu ini masih sangat relevan dengan situasi yang kita hadapi kini.
Saya sendiri sempat menghabiskan waktu lebih dari sebulan menyelesaikan tulisan Emha ini, meski diantaranya sempat menyelesaikan satu buku lain. Budayawan favorit almarhum ayah saya ini menulis dengan cerdik setiap kata dan kalimatnya, dan memang perlu waktu untuk mencerna apa yang tersirat.
Beberapa tulisan menarik bagi saya adalah sbb; saat beliau menulis tentang surrealisme kejiwaan dan meminjam istilah dari salah satu master piece lukisan Salvador Dali "Jam Meleleh" menunjukkan luasnya minat beliau di dunia kesenian. Atau ketika kita dibuat terpesona, saat beliau menulis salah kaprah tentang kekuasaan dengan "Kemenangan ialah pasukan, siasat, bala tentara, dan senapan, kemenangan ialah kekuasaan, dan kekuasaan lah satu-satunya jalan menuju kekayaan" dalam kalimat-kalimat bernas.
Dan lalu menulis tentang betapa salah kaprah nya kebanyakan kaum muda saat ini dengan kalimat "ketika kekuasaan yang digandrunginya adalah kekuasaan yang semu, kekayaaan yang dipelototinya adalah kekayaan yang menipu, kemerdekaan yang dicintainya adalah kemerdekaan yang membelenggu" dengan menggunakan akhiran yang sama di ujung kalimat. Lalu tulisan jenaka mengenai jenjang kewiraswastawan mulai dari
"Apa besok makan ?" menjadi
"Besok makan apa ?", dan lalu
"Besok makan dimana ?", dan akhirnya
"Besok makan siapa ?".
Di bagian akhir beliau menulis "Orang-orang mengeksploitasi kehadirannya di bumi hanya untuk menikmatinya, seperti anjing rakus yang mencaplok sepotong roti tanpa peduli tangan yang mengulurkannya". Bagi saya kalimat ini mengingatkan kita akan tujuan kita hidup di Bumi Allah. Benar-benar tulisan yang mencerahkan dan memberikan kita kesempatan untuk merenungkan kembali arah tujuan hidup yang sudah kita pilih.
Sedikit informasi mengenai Emha, beliau lahir di Jombang, 27/5/1953. Beliau memiliki paling tidak lima acara rutin disamping acara-acara tak rutin, seperti Padhang Mbulan (Jombang), Mocopat Syafaat (Yogya), Kenduri Cinta (Jakarta), Gambang Syafaat (Semarang) dan Obor Ilahi (Malang). Hal unik lain yang dilakukan beliau adalah memberi nama bagi para bayi dan sudah sekitar 1000 bayi yang diberi nama oleh beliau.
Bersama Kiai Kanjeng, kelompok musik dan syair pimpinan beliau, sejak 1998 sd 2006, telah lebih dari 22 provinsi, 376 kabupaten, 1.430 kecamatan dan 1.850 desa yang pernah didatangi oleh kelompok musik ini. Begitu juga negeri lain seperti Mesir, Malaysia, Brunei dan negara-negara Eropa seperti Inggris, Jerman, Skotkandia, Finlandia dan Italia.
Uniknya beliau yang merasa dirinya bukanlah penulis ini justru menghasilkan sangat banyak tulisan mulai dari puisi, esai, artikel, naskah drama, cerpen, makalah, hingga buku. Kini beliau yang menikah dengan Novia Kolopaking bersama empat putranya Sabrang, Hayya, Jembar dan Rampak bertempat tinggal di Kadipiro, Yogyakarta.
Bapak makin tak kenal kewajaran kerja
Hidup yang mengembangkan pencurian
Tidaklah mengajari nriman
Dan kemunafikan yang tak terelakkan
Makin menyembunyikan kebenaran
Di tengah beratus wajah penindasan, Bapak
Ajarilah kami bagaimana mampu rela
Membiarkan diri menjadi kuda tunggangan
Waktu telah bergolak
Tak setenang itu air telaga
Langit batinku retak
Tak terucap lagi kata lega lila
Demikian buku Indonesia Bagian dari Desa Saya (IBDDS), karya Emha Ainun Nadjib dimulai. Terdiri dari 3 Bab, yakni Bagian 1, Desa Saya (10 artikel), Bagian 2 Hipokrisi (8 Artikel) dan Bagian 3 Sang Sufi (10 Artikel), bukanlah buku kumpulan esai yang mudah dibaca, khususnya bagi penikmat yang ingin mencerna setiap kata yang ditulis Emha.Uniknya buku yang ditulis sekitar 30 tahun yang lalu ini masih sangat relevan dengan situasi yang kita hadapi kini.
Saya sendiri sempat menghabiskan waktu lebih dari sebulan menyelesaikan tulisan Emha ini, meski diantaranya sempat menyelesaikan satu buku lain. Budayawan favorit almarhum ayah saya ini menulis dengan cerdik setiap kata dan kalimatnya, dan memang perlu waktu untuk mencerna apa yang tersirat.
Beberapa tulisan menarik bagi saya adalah sbb; saat beliau menulis tentang surrealisme kejiwaan dan meminjam istilah dari salah satu master piece lukisan Salvador Dali "Jam Meleleh" menunjukkan luasnya minat beliau di dunia kesenian. Atau ketika kita dibuat terpesona, saat beliau menulis salah kaprah tentang kekuasaan dengan "Kemenangan ialah pasukan, siasat, bala tentara, dan senapan, kemenangan ialah kekuasaan, dan kekuasaan lah satu-satunya jalan menuju kekayaan" dalam kalimat-kalimat bernas.
Dan lalu menulis tentang betapa salah kaprah nya kebanyakan kaum muda saat ini dengan kalimat "ketika kekuasaan yang digandrunginya adalah kekuasaan yang semu, kekayaaan yang dipelototinya adalah kekayaan yang menipu, kemerdekaan yang dicintainya adalah kemerdekaan yang membelenggu" dengan menggunakan akhiran yang sama di ujung kalimat. Lalu tulisan jenaka mengenai jenjang kewiraswastawan mulai dari
"Apa besok makan ?" menjadi
"Besok makan apa ?", dan lalu
"Besok makan dimana ?", dan akhirnya
"Besok makan siapa ?".
Di bagian akhir beliau menulis "Orang-orang mengeksploitasi kehadirannya di bumi hanya untuk menikmatinya, seperti anjing rakus yang mencaplok sepotong roti tanpa peduli tangan yang mengulurkannya". Bagi saya kalimat ini mengingatkan kita akan tujuan kita hidup di Bumi Allah. Benar-benar tulisan yang mencerahkan dan memberikan kita kesempatan untuk merenungkan kembali arah tujuan hidup yang sudah kita pilih.
Sedikit informasi mengenai Emha, beliau lahir di Jombang, 27/5/1953. Beliau memiliki paling tidak lima acara rutin disamping acara-acara tak rutin, seperti Padhang Mbulan (Jombang), Mocopat Syafaat (Yogya), Kenduri Cinta (Jakarta), Gambang Syafaat (Semarang) dan Obor Ilahi (Malang). Hal unik lain yang dilakukan beliau adalah memberi nama bagi para bayi dan sudah sekitar 1000 bayi yang diberi nama oleh beliau.
Bersama Kiai Kanjeng, kelompok musik dan syair pimpinan beliau, sejak 1998 sd 2006, telah lebih dari 22 provinsi, 376 kabupaten, 1.430 kecamatan dan 1.850 desa yang pernah didatangi oleh kelompok musik ini. Begitu juga negeri lain seperti Mesir, Malaysia, Brunei dan negara-negara Eropa seperti Inggris, Jerman, Skotkandia, Finlandia dan Italia.
Uniknya beliau yang merasa dirinya bukanlah penulis ini justru menghasilkan sangat banyak tulisan mulai dari puisi, esai, artikel, naskah drama, cerpen, makalah, hingga buku. Kini beliau yang menikah dengan Novia Kolopaking bersama empat putranya Sabrang, Hayya, Jembar dan Rampak bertempat tinggal di Kadipiro, Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment