Setelah ke Arafah dan mabit di Muzdalifah, lalu ke Mekkah untuk thawaf Ifadha, saya ingat seorang pria yang menyapa saya, ternyata beliau seorang berkebangsaan Philippina yang bekerja sebagai petugas pembersih di Haram. Dia bertanya apakah saya sempat menghabiskan malam di Muzadlifah, ketika saya mengatakan tidak, karena rombongan cuma sebentar saja, dia sangat menyayangkan dan menganggap apa yang saya dan rombongan lakukan adalah hal yang salah. Namun beliau mungkin lupa bahwa memang ada banyak pemahaman yang berbeda soal ritual ini, saya memilih mengikuti apa yang disampaikan ustadz dalam rombongan saya. Hal ini terjadi memang karena dalam sejarah hidupnya Nabi sendiri hanya melakukan Ibadah Haji dalam beberapa kesempatan saja, sehingga wajar kalau dalam pelaksanaannya ada beberapa perbedaan pemahaman. Situasi ini mengingatkan saya akan beberapa jamaah yang melaksanakan Ibadah Haji lebih dari sekali, karena mereka merasa ada yang kurang pas dalam pelaksanaan sebelumnya.
Saat ke Arafah maka koper kecil kembali ditinggal di Mina, lagi-lagi kami harus menyortir barang-barang yang harus dibawa. Sehingga hanya tinggal berupa kantung kecil pink yang cuma seukuran kantong kresek. Anehnya semakin sedikit barang yang dibawa hati menjadi semakin tenang, saya jadi ingat orang yang menafkahkan hartanya saat pengadilan terakhir langkahnya menjadi lebih cepat, mungkin apa yang saya rasakan menggambarkan saat-saat itu kelak.
Disini lagi-lagi kami harus antri makanan, namun di Arafah situasinya lebih parah dari Mina. Sekumpulan jamaah yang tak mau antri, langsung menyodok di barisan depan meski antrian begitu panjang dan banyak kakek dan nenek yang sudah antri lama, harus mengurut dada menyaksikan ulah sebagian jamaah. Saya sempat menegur seorang jamaah yang dengan santainya melewati antrian tanpa rasa malu sama sekali, jujur saat itu saya masih bingung apakah dalam kondisi seperti ini rasa marah dan jengkel saya wajar atau tidak. Lagi saya kalah karena tidak bisa menahan sabar, namun saya tetap tidak bisa menahan diri untuk menegur orang-orang seperti itu.
Pada pagi hari, sebagian jamaah memperlakukan kamar kecil layak-nya tempat sampah sehingga menyuilitkan orang berikutnya dalam menggunakan kamar kecil tersebut. Namun saya berusaha untuk selalu membersihkan kamar mandi agar nyaman bagi pengguna setelahnya. Kadang kunci pintu kamar mandi sudah rusak, dalam hal seperti ini saya minta tolong pada antrian di belakang saya, setelah sebelumnya menolong antrian di depan saya. Pada hal-hal seperti inilah kualitas hubungan sesama manusia kita diuji.
Saat di Arafah, biasanya setiap Ustadz pembimbing akan mengangkat topik terpenting dalam ibadah Haji. Namun sangat sulit mendengarkan kutbah Arafah dengan baik, karena pada saat yang sama dari tenda lain ada banyak ustadz yang juga sedang ceramah dengan menggunakan sound system, yang cukup keras.
Di Sore hari saya dan istri menuju gunung-gunung batu di sekeliling Arafah dan lalu membaca doa sambil meneteskan air mata mengingat dosa-dosa yang pernah kami lakukan. Beberapa jamaah mencari lokasi nun jauh di lereng-lereng bukit batu, sayangnya pada beberapa lokasi sepertinya dijadikan juga sebagai tempat pembuangan sampah sehingga terlihat kotor.
Saat kembali ke Bus di waktu malam ternyata menjadi saat yang menegangkan,karena lokasi Bus sangat jauh dan kami harus melewati berbagai perempatan dengan berjalan cepat. Sebagian jamaah yang berusia lanjut akhirnya terpisah dari rombongan dan terpaksa meminta tolong pada Bus lain. Saya ingat seorang mantan jenderal yang seangkatan dengan SBY akhirnya sempat hilang, dan untungnya menemukan bis lain. Beberapa saat setelah kembai ke Indonesia, beliau berpulang, semoga arwahnya mendapatkan tempat terbaik di sisiNya. Saat tiba di parkiran yang begitu luas, semua Bus nampak sama, dan sangat sulit mencari dimana bus kami berada. Sukurlah akhirnya kami tiba dengan selamat meski basah kuyup dengan keringat.
Lanjut ke http://hipohan.blogspot.co.id/2014/11/berangkat-haji-kembali-ke-mina-dan-lalu.html
No comments:
Post a Comment