Sunday, November 02, 2014

Perjalanan Haji : Madinah Part #9 dari 16


Saat di Madinah kadang cuaca terasa begitu kering, sehingga kita nyaris tidak berkeringat karena langsung menjadi uap di udara yang sangat panas dan gersang ini. Namun Madinah secara umum masih lebih sejuk di banding Makkah. Tempat favorit saya saat sholat adalah di atap Nabawi. Kebetulan di bagian belakang ada atap yang memungkinkan kita sholat tanpa harus kepanasan.  




Saat melihat pintu mimbar Nabi, teringat setahun sebelumnya saya dan si sulung berdiri sambil berdoa,semoga kami sekeluarga selalu ada dalam lindunganNya. Salah satu hal yang berkesan bagi saya adalah saat salah satu imamnya terisak isak membaca doa, sehingga jamaah yang turut sholat di sekitar saya ikut terisak. Pembacaan doa dengan suaranya beliau yang khas dan serak, bahkan sempat terhenti beberapa kali, namun suasananya ini sangat berkesan di hati saya dan susah dilupakan hingga kini. Hal lainnya yang sangat berkesan, adalah saat ribuan jamaah berduyun duyun ke masjid setiap kali panggilan shalat terdengar.





Khusus di depan makam Nabi, jangan kaget jika kita dibentak petugas keamanan jika ada yang terihat berdoa di makam Nabi. Meski mereka tidak tahu apa yang kita doakan, kaum Wahabi yang mendominasi Arab Saudi sangat mengkuatirkan jika umat meminta minta pada kuburan, sedangkan tempat meminta satu-satunya adalah Allah SWT. 

Saya juga bertemu pria-pria bertampang Pakistan yang tiba2 mengaku saudara namun ujung2nya minta uang untuk pulang ke kampung-nya. Terhadap sosok-sosok seperti ini saya hanya tersenyum sambil mencoba menamatkan Al Qur’an yang saya bawa dari Indonesia. Namun harus diakui penampilan mereka sangat terkesan ulama dengan ilmu tinggi, berjenggot panjang dan lebat, bersurban, baju gamis putih, dengan postur tinggi dan langsing, kalau di Indonesia sosok seperti ini sudah langsung dikira ulama papan atas. 




Saat makanan terasa sangat membosankan, saya dan istri sengaja mencari Baso si Doel, ternyata tidak terlalu jauh dari hotel kami, sayang rasanya biasa saja.  Atau harapan saya yang mungkin terlalu berlebih, karena menggunakan standar Baso di Bandung yang memang banyak yang enak. Mangkok stereo foam dan sendok plastik juga membuat suasana makan makin terasa tidak nyaman. 

Kami juga menyempatkan diri ke toko yang banyak tersebar di Madinah, untuk membeli jam Swatch untuk anak-anak,yang disini harganya bisa 30 sd 40% lebih murah dari Indonesia. Penjual keturunan Yaman disini ternyata banyak yang cukup mahir berbahasa Indonesia.  Wajah mereka biasanya cakap, namun secara fisik lebih kecil di banding kebanyakan penduduk Arab Saudi. 




Suatu hari di gedung sebelahnya ada pameran pemerintah daerah Madinah, termasuk pembagian Al Qur’an gratis, dll. Saya dan istri berkeliling dan melihat maket Madinah di zaman Nabi, saat masjidnya masih belum sebesar sekarang. Sangat menakjubkan di zaman itu kekhalifahan Islam menguasai nyaris setengah dunia. Saat ini luas Nabawi konon kabarnya sama dengan luas Madinah saat itu. Prestasi itu menunjukkan dahsyatnya ajaran Nabi Muhammad dalam mengubah suku-suku kecil yang suka bertikai menjadi kekuatan yaang mampu mengalahkan Persia dan Rumawi. 




Di Madinah, kami juga sempat berkunjung ke percetakan modern Al Quran King Fahd yang didirikan tahun 1982, dan melihat bagaimana Al Quran diperbanyak disini dengan terjemahan dalam banyak bahasa di dunia, namun tetap dengan menyertakan versi aslinya. Kali lainnya kami berkunjung ke Kebun Kurma, ternyata kurma muda tak kalah nikmatnya di banding kurma tua, dan kagum luar biasa Allah menciptakan pohon yang buahnya bisa begitu berair di alam yang luar biasa kering. 

Lanjut ke http://hipohan.blogspot.com/2014/11/berangkat-haji-aziziah-part-10-dari-16.html

No comments: