Thursday, August 09, 2012

Botchan - Natsume Soseki.

Ketika melihat sepintas buku ini saya mengiranya sebagai buku komik grafis, namun ternyata ini adalah sebuah novel yang konon merupakan salah satu buku yang sangat digemari di Jepang. Novel ini mengisahkan kisah hidup seorang bocah, yang merupakan anak bungsu dari dua bersaudara yang ditinggal mati ibu dan lalu enam tahun kemudian ayah-nya, sehingga akhirnya di usia yang masih muda harus menempuh hidup nyaris sebatang kara, dan berpisah dengan satu2nya saudaranya.

Saat dia masih kecil, abang-nya selalu mendapatkan perhatian lebih, sedangkan dia sebaliknya selalu diramalkan oleh ayahnya tidak akan menjadi apa2 sekaligus dianggap sebagai anak tak berguna. Situasi sulit ini membuat karakternya menjadi pendiam, dan lebih sering berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Kulit abang-nya yang pucat sehingga terkesan sebagai keturunan bangsawan baginya seakan akan menjadi dinding pemisah “kasta” diantara mereka.

Apa arti botchan ?  kata ini merupakan panggilan hormat dari pekerja pada majikan-nya. Saat si bocah masih kecil ada seorang nenek yang sudah cukup lama bekerja pada keluarga mereka (bernama Kiyo), yang sangat perhatian pada di si bocah khususnya saat2 dimana dia dimarahi ayah-nya atau mendapat perlakuan yang tidak adil. Nenek ini bahkan selalu yakin bahwa kelak dia akan menjadi orang yang sukses dan sebaliknya pada abang-nya.  Nenek inilah yang memanggilnya dengan sebutan botchan.

Saat dewasa karena prestasi yang biasa2 saja, dia diusulkan menjadi guru muda pelajaran matematika di sebuah tempat terpencil sekaligus mengingatkan saya akan “Indonesia Mengajar” nya Anies Baswedan. Namun suasana di tempat ini sangatlah tidak nyaman, karakternya yang terlalu berterus terang (konon kabarnya merupakan karakter orang yang berasal dari Edo) sekaligus pendiam membuatnya cukup sulit diterima. Dan dia kesulitan menentukan mana yang lawan dan mana yang kawan. Belum lagi sebagian murid yang diajar memiliki tubuh yang lebih besar dari dirinya. Saat2 seperti inilah dia baru merasa betapa Kiyo adalah orang paling berarti yang dia miliki di dunia.




Pada masa inilah, dia harus menempatkan diri diantara guru ambisius (dia juluki sebagai si kemeja merah), kepala sekolah yang merasa selalu benar (dia juluki sebagai Tanuki alias binantang sejenis rakun), guru penjilat (Yoshikawa Kun yang dia juluki sebagai si badut), guru yang menjadi korban (Koga alias guru bahasa inggris), dan guru yang menginginkan perubahan (Hotta alias guru matematika alias si Landak). Dia juga harus mengalami “serangan” dari murid2nya yang berusaha mempermalukan dia, hanya karena hal2 sepele seperti makan mi / tempura di luar rumah, atau memasukkan belalang dalam kelambunya saat jaga malam hingga menulis kata2 sindiran di papan tulis.
“Aku benci si Badut, dia bakal berjasa besar pada Jepang, kalau saja dia mau mengalungkan karang besar di lehernya kemudian melompat ke laut”, begitulah cara Soseki menggambarkan kebencian-nya pada salah satu guru di sekolah. Atau cara “kurang ajar” sekaligus lucu dengan menjuluki orang2 disekitar tokoh utama. Ekspresif sekaligus kocak, memang buku ini enak dibaca, kalimat-nya mengalir lancar, dan cara Soseki memosisikan “aku” dalam buku ini mau tak mau mengingatkan kita akan karya Mark Twain “Huckleberry Finn”.

Bagaimana klimaks dari buku ini ?, sepertinya kurang enak kalau saya ceritakan dalam review ini, yang jelas ending-nya cukup memuaskan, dan merupakan pembalasan setimpal terhadap guru ambisius dan guru penjilat. Siapa Soseki ? dia lahir di Tokyo 1867, dan sempat menjadi guru di pedalaman Shikoku, dan lalu Kyushu. Tahun 1900 dia memperoleh beasiswa untuk belajar di Inggris, lima tahun kemudian di 1905 dia menerbitkan karya pertama, yang diikuti dengan “Botchan”. Beliau meninggal tahun 1916 sebelum menyelesaikan karya terakhir-nya.

No comments: