Wednesday, August 08, 2012

Inspirasi dari Singapore #2 of 4 – Bukan Lagi Surga Belanja

Apartemen yang kami sewa merupakan milik perorangan dan dimiliki oleh Madame So dan putranya. Dia memiliki team sendiri (sepertinya sih TKI juga) untuk membersihkan ruangan, mencuci, dll. Ketika kami sampai, penghuni sebelum-nya masih belum check out sehingga kami terpaksa menunggu sedikit lama. Ketika check in, tanpa basa basi Madame So  menuntut dilunasi terlebih dahulu biaya kamar tiga malam plus jaminan (meski kami sudah memberikan DP untuk satu malam). Apartemen ini sudah cukup tua, kalau dari bangunan sepertinya sudah sekitar 20 tahun, di bagian bawah terdapat mall yang penuh TKI jika diakhir minggu. Dalam mall ini ada salah satu restoran ayam penyet terkenal di Singapore milik pengusaha Surabaya. Jangan kaget kalau minum teh botol disini, harganya menjadi berlipat lipat. 

Malam-nya kami sempat hunting di seputaran Lucky Plaza mencari lensa Canon Wide (buat saya) dan Canon Macro (buat anak saya), namun ternyata harga yang ditawarkan masih lebih mahal antara 1,5 sd 2 jt dibanding harga Jakarta. Anak saya akhirnya memutuskan untuk membeli Sigma 18-200 karena harganya tidak jauh berbeda dengan Indonesia, dan kami dapat proses tax refund di Changi saat pulang. Sales kamera masih membujuk saya untuk membeli converter saja dan mereka tawarkan dengan harga 2 sd 3 juta tergantung brand (salah satunya Rollei). Istri saya sendiri merasakan hal yang sama ketika harus belanja beberapa souvenir bagi keponakan2 kami. Sepertinya Singapore bukan lagi surga belanja bagi turis Indonesia. Bahkan ketika kami ke Mustapha Center di Little India yang konon kabarnya merupakan surga belanja dan memiliki lebih dari 150 ribu item, harga2 tetap terasa lebih murah di Indonesia.


Di Mustapha saya dan anak sempat “berantem” dengan penjual kamera, yang ngotot kami harus membeli lensa sekaligus dengan pelindung ultra violet. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak membeli apapun, kecuali sandal untuk mengganti sepatu saya yang jebol dan akhirnya saya  tinggal di salah satu tempat sampah di Orchard Road. 
Tak banyak makanan khas yang kami coba, saya sempat mencoba teh tarik, kari kambing dengan roti cane, dan nasi lemak. Namun istri dan si bungsu sempat mencoba es potong yang biasanya di jual di pinggir jalan Orchard Road. Selebihnya kami malah makan masakan padang , ayam penyet dan nasi timbel di restoran Indonesia yang kami temukan. Saya sempat mencoba kelapa muda yang dikupas dan berbentuk bagaikan gelas raksasa, meski tanpa gula rasanya sungguh manis.

Meski bukan lagi surga belanja, saya  berpendapat untuk negara kota (baca : mini) seperti Singapore, mereka memiliki pola pikir yang luar biasa, karena mereka mengklaim memiliki Kebun Binatang “Rain Forest” terbesar di dunia, mereka juga merupakan negara pertama yang menyelenggarakan balapan F1 di malam hari, yang karena keterbatasan sirkuit akhirnya malah dilakukan di jalan2 utama persis seperti Monaco, mereka juga memiliki air mancur terbesar dunia (di Suntec Tower yaitu perkantoran dan mall yang menirukan tangan dan jari2nya dimana jari sebagai tower dan berjumlah lima serta panjang dan pendeknya mengikuti bentuk natural dari tangan) dll. Selain itu mereka juga memiliki “bianglala” terbesar di dunia yaitu Singapore Flyer. Jadi meski kecil mereka mampu berpikir besar.

Selanjutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2012/08/inspirasi-dari-singapore-3-sentosa.html 


No comments: