Apartemen yang kami sewa merupakan milik perorangan dan
dimiliki oleh Madame So dan putranya. Dia memiliki team sendiri (sepertinya sih
TKI juga) untuk membersihkan ruangan, mencuci, dll. Ketika kami sampai,
penghuni sebelum-nya masih belum check out sehingga kami terpaksa menunggu
sedikit lama. Ketika check in, tanpa basa basi Madame So menuntut dilunasi terlebih dahulu biaya kamar
tiga malam plus jaminan (meski kami sudah memberikan DP untuk satu malam). Apartemen
ini sudah cukup tua, kalau dari bangunan sepertinya sudah sekitar 20 tahun, di
bagian bawah terdapat mall yang penuh TKI jika diakhir minggu. Dalam mall ini
ada salah satu restoran ayam penyet terkenal di Singapore milik pengusaha
Surabaya. Jangan kaget kalau minum teh botol disini, harganya menjadi berlipat
lipat.
Malam-nya kami sempat hunting di seputaran Lucky Plaza
mencari lensa Canon Wide (buat saya) dan Canon Macro (buat anak saya), namun
ternyata harga yang ditawarkan masih lebih mahal antara 1,5 sd 2 jt dibanding
harga Jakarta. Anak saya akhirnya memutuskan untuk membeli Sigma 18-200 karena
harganya tidak jauh berbeda dengan Indonesia, dan kami dapat proses tax refund
di Changi saat pulang. Sales kamera masih membujuk saya untuk membeli converter
saja dan mereka tawarkan dengan harga 2 sd 3 juta tergantung brand (salah satunya Rollei). Istri saya
sendiri merasakan hal yang sama ketika harus belanja beberapa souvenir bagi
keponakan2 kami. Sepertinya Singapore bukan lagi surga belanja bagi turis
Indonesia. Bahkan ketika kami ke Mustapha Center di Little India yang konon
kabarnya merupakan surga belanja dan memiliki lebih dari 150 ribu item, harga2
tetap terasa lebih murah di Indonesia.
Di Mustapha saya dan anak sempat “berantem” dengan penjual
kamera, yang ngotot kami harus membeli lensa sekaligus dengan pelindung ultra
violet. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak membeli apapun, kecuali sandal
untuk mengganti sepatu saya yang jebol dan akhirnya saya tinggal di salah satu tempat sampah di Orchard
Road.
Tak banyak makanan khas yang kami coba, saya sempat mencoba teh tarik, kari kambing dengan roti cane, dan nasi lemak. Namun istri dan si bungsu sempat mencoba es potong yang biasanya di jual di pinggir jalan Orchard Road. Selebihnya kami malah makan masakan padang , ayam penyet dan nasi timbel di restoran Indonesia yang kami temukan. Saya sempat mencoba kelapa muda yang dikupas dan berbentuk bagaikan gelas raksasa, meski tanpa gula rasanya sungguh manis.
Meski bukan lagi surga belanja, saya berpendapat untuk negara kota (baca : mini)
seperti Singapore, mereka memiliki pola pikir yang luar biasa, karena mereka
mengklaim memiliki Kebun Binatang “Rain Forest” terbesar di dunia, mereka juga
merupakan negara pertama yang menyelenggarakan balapan F1 di malam hari, yang
karena keterbatasan sirkuit akhirnya malah dilakukan di jalan2 utama persis
seperti Monaco, mereka juga memiliki air mancur terbesar dunia (di Suntec Tower
yaitu perkantoran dan mall yang menirukan tangan dan jari2nya dimana jari
sebagai tower dan berjumlah lima serta panjang dan pendeknya mengikuti bentuk
natural dari tangan) dll. Selain itu mereka juga memiliki “bianglala” terbesar
di dunia yaitu Singapore Flyer. Jadi meski kecil mereka mampu berpikir besar.
Selanjutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2012/08/inspirasi-dari-singapore-3-sentosa.html
Selanjutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2012/08/inspirasi-dari-singapore-3-sentosa.html
No comments:
Post a Comment