Sebenarnya buku ini sudah cukup lama saya beli, namun saya
sering berasumsi bahwa jika karya pertama sukses, biasanya akan sangat sulit
diikuti kesuksesan karya kedua. Itu sebabnya setiap kali ingin membaca selalu
saya tunda2 lagi, namun sepertinya saya salah, 108 cerita dalam buku ini tetap
menarik untuk dibaca, selalu ada hal2 sederhana yang bisa menjadi inspirasi.
Dan uniknya, kali ini Ajahn Brahm juga mengangkat pengalaman dia di Indonesia.
Loh kok Indonesia ? sebagaimana kita ketahui, kesuksesan
buku pertama di Indonesia, membuat Ajahn Brahm sering berkunjung ke Indonesia.
Kunjungan ini akhirnya membuat beliau menemukan cerita2 baru yang memperkaya
buku ini. Misalnya saat beliau berada di suatu daerah yang dikatakan sebagai
basis teroris, beliau justru merasa ada saat2 indah yang dia rasakan, saat kaum
muslim ikut mendengarkan ceramahnya. Bahkan saat di bandara satu keluarga
muslim mengejar ngejar beliau sampai ke bandara, dan meminta tanda tangan di
buku serta tak lupa foto bersama, dimana Ajahn Brahm berfoto dengan keluarga
yang para wanitanya berjilbab.
Judul2 dalam buku ini juga menarik, misalnya “Batin Teflon”
yang maksudnya bila kita tidak berharap apapun maka kita tidak akan pernah
kecewa, sebagaimana Teflon melepas semua yang berusaha menempel dalam dirinya,
seperti itulah selayaknya manusia bersikap.
Ajahn Brahm juga mengingatkan pentingnya bersikap gembira,
seperti saat dia sakit dan berpikir akan mati ketika dia masih kuliah. Namun
saat itu seseorang dari perusahaan ekspedisi datang mengirimkan tape stereo
miliknya dalam keadaan terurai, yang di kirim beberapa saat lalu dari rumahnya.
Karena ukurannya yang besar Ajahn perlu beberapa waktu merakitnya. Namun
kebahagiaan yang dia rasakan saat merakit dan harapan untuk bisa mendengar “Voodoo
Child” nya Jimi Hendrix membuatnya lupa akan sakitnya, dan sembuh tak berapa
lama kemudian. He he seorang Ajahn Brahm ternyata penggemar Jimi Hendrix.
Kisah menarik lainnya adalah tentang seorang pendeta budha,
yang tidak memiliki benda berharga apapun di dunia kecuali motor Harley
Davidson-nya. Kemana mana dia mengendarai motor tersebut dan baginya motor itu
adalah sumber kebahagiaan. Suatu saat sehabis berbelanja, dia tidak menemukan
motor-nya di tempat parkir, namun menyadari bahwa “rasa kehilangan” tidak
membuatnya sedih dan malah membuatnya merasa lega dia menjadi lebih berbahagia
lagi. Karena itulah makna kebahagiaan sejati, saat kita kehilangan rasa
memiliki. Dia justru mendoakan sang pemilik baru dapat merasakan kebahagiaan
yang sama. Uniknya dia akhirnya menyadari kalau dia salah tempat parkir, lalu
ketika dia menuju tempat parkir yang sebenarnya dan menemukan motornya masih di
situ, dia merasa menemukan dua kebahagiaan di hari yang sama.
No comments:
Post a Comment