Hari kedua lebaran saat rumah menjadi tempat berkumpul
nyaris duapuluh anggota keluarga dari mulai balita, abg sampai dewasa, istri
saya mengusulkan untuk pergi nonton ke PVJ. Namun perbedaan generasi di antara
rombongan akhirnya membuat masing2 menentukan pilihan sendiri. Ada yang lebih
suka Ice Age, ada yang ingin Perahu Kertas, dan saya sendiri serta beberapa keponakan
pria, memilih Batman, sayang sampai dengan dua menit sebelum Batman mulai,
tiket masih belum di tangan, dan terjebak antrian di depan loket.
Begitu Batman lepas dari tangan, Istri mengusulkan TSK, namun saya ragu karena belum pernah membaca resensi / review sebelumnya. Dalam waktu sempit saya langsung googling, dan sepertinya resensinya cukup menarik, jadi akhirnya saya putuskan untuk menonton yang ini, apalagi ada nama Deddy Mizwar yang sepertinya bisa jadi jaminan.
Film ini dibuka dengan fotografi yang cantik, saat Hasyim veteran perang Dwikora dengan cucunya mencari ikan disungai, dibawah langit biru dengan gumpalan2 awan putih. Ceritanya sendiri tentang kehidupan di perbatasan antara Sarawak dan Kalimantan Barat. Dimana masyarakat Indonesia justru lebih sering kontak dengan Malaysia, sekaligus sindiran terhadap pemerintah yang cuma fokus pada pembangunan di pusat.
Hasyim, sang veteran yang sudah ditinggal istri, memiliki anak lelaki yang bernama Haris dengan dua cucu (Salman dan Salina), namun nasib Haris tak jauh berbeda dengan dirinya, yaitu sama2 ditinggal istri. Halaman rumah mereka dihiasi dua buah gundukan tanah peristirahatan terakhir dari wanita2 yang mereka cintai, sekaligus memperkuat suasana muram dalam film ini. Konflik dalam film ini bermula sejak Haris merantau dan bekerja di Malaysia akhirnya merasakan hidup yang jauh lebih mudah. Memiliki kedai dan akhirnya menikah dengan seorang wanita Malaysia membuat dia ingin mengambil kedua anaknya yang selama ini diasuh oleh Hasyim.
Hasyim yang meski kecewa dengan situasi di perbatasan, dengan idealisme-nya bertahan untuk tetap di Indonesia meski kondisi kesehatan-nya tidak begitu baik. Melihat situasi ini, Salman yang sejak kecil selalu terinspirasi perjuangan Indonesia melawan penetrasi Inggris via Malaysia dengan serdadu Gurkha-nya memilih tetap di Indonesia untuk merawat kakeknya, meski dengan begitu dia terpaksa terpisah dari Salina. Salman berjuang keras untuk mencari tambahan sana sini agar biaya Hasyim ke Rumah Sakit bisa di penuhi.
Disamping konflik Hasyim dan Haris, film ini juga mengisahkan Astuti guru SD satu2nya nyaris untuk semua kelas, semua mata pelajaran, dan merangkap sebagai Kepala Sekolah serta dokter Anwar, seorang dokter asal Bandung, yang memutuskan ke perbatasan untukmenggantikan dokter sebelumnya yang meninggal dalam menjalankan tugas. Kisah Astuti dan Anwar membuat film ini semakin menarik dan menggambarkan idealisme generasi muda yang mengharukan.
Meski berakhir dengan “sad ending” semua pemeran dalam film ini bermain dengan mengagumkan, baik Hasyim (Fuad Idris), Haris (Ence Bagus), Salman (Osa Aji Santoso), Astuti (Astri Nurdin), Salina (Tissa Biani Azzahra), Anwar (Ringgo Agus Rahman), Kepala Desa (Norman Akyuwen) semua bermain dengan dahsyat. Namun kalau harus memilih, Fuad Idris, Astri Nurdin, Ringgo Agus Rahman dan Osa Aji Santoso sedikit lebih baik dibanding yang lain, khususnya Osa raut wajahnya yang khas Indonesia serta postur yang kurus sangat mendukung jalan-nya cerita. Suasana muram di film ini terselamatkan oleh akting Ringgo Agus Rahman. Dialog cerdas, body language yang apik menunjukkan sentuhan Deddy yang kental. Meski sedikit tertekan dengan situasi jalanan Bandung, yang memerlukan tiga setengah jam untuk bisa keluar dari parkiran PVJ ke Sukajadi akibat traffic jam mobil2 Jakarta yang menuju Lembang, bagi saya film ini sangat layak ditonton dan menjadi bahan renungan.
Begitu Batman lepas dari tangan, Istri mengusulkan TSK, namun saya ragu karena belum pernah membaca resensi / review sebelumnya. Dalam waktu sempit saya langsung googling, dan sepertinya resensinya cukup menarik, jadi akhirnya saya putuskan untuk menonton yang ini, apalagi ada nama Deddy Mizwar yang sepertinya bisa jadi jaminan.
Film ini dibuka dengan fotografi yang cantik, saat Hasyim veteran perang Dwikora dengan cucunya mencari ikan disungai, dibawah langit biru dengan gumpalan2 awan putih. Ceritanya sendiri tentang kehidupan di perbatasan antara Sarawak dan Kalimantan Barat. Dimana masyarakat Indonesia justru lebih sering kontak dengan Malaysia, sekaligus sindiran terhadap pemerintah yang cuma fokus pada pembangunan di pusat.
Hasyim, sang veteran yang sudah ditinggal istri, memiliki anak lelaki yang bernama Haris dengan dua cucu (Salman dan Salina), namun nasib Haris tak jauh berbeda dengan dirinya, yaitu sama2 ditinggal istri. Halaman rumah mereka dihiasi dua buah gundukan tanah peristirahatan terakhir dari wanita2 yang mereka cintai, sekaligus memperkuat suasana muram dalam film ini. Konflik dalam film ini bermula sejak Haris merantau dan bekerja di Malaysia akhirnya merasakan hidup yang jauh lebih mudah. Memiliki kedai dan akhirnya menikah dengan seorang wanita Malaysia membuat dia ingin mengambil kedua anaknya yang selama ini diasuh oleh Hasyim.
Hasyim yang meski kecewa dengan situasi di perbatasan, dengan idealisme-nya bertahan untuk tetap di Indonesia meski kondisi kesehatan-nya tidak begitu baik. Melihat situasi ini, Salman yang sejak kecil selalu terinspirasi perjuangan Indonesia melawan penetrasi Inggris via Malaysia dengan serdadu Gurkha-nya memilih tetap di Indonesia untuk merawat kakeknya, meski dengan begitu dia terpaksa terpisah dari Salina. Salman berjuang keras untuk mencari tambahan sana sini agar biaya Hasyim ke Rumah Sakit bisa di penuhi.
Disamping konflik Hasyim dan Haris, film ini juga mengisahkan Astuti guru SD satu2nya nyaris untuk semua kelas, semua mata pelajaran, dan merangkap sebagai Kepala Sekolah serta dokter Anwar, seorang dokter asal Bandung, yang memutuskan ke perbatasan untukmenggantikan dokter sebelumnya yang meninggal dalam menjalankan tugas. Kisah Astuti dan Anwar membuat film ini semakin menarik dan menggambarkan idealisme generasi muda yang mengharukan.
Meski berakhir dengan “sad ending” semua pemeran dalam film ini bermain dengan mengagumkan, baik Hasyim (Fuad Idris), Haris (Ence Bagus), Salman (Osa Aji Santoso), Astuti (Astri Nurdin), Salina (Tissa Biani Azzahra), Anwar (Ringgo Agus Rahman), Kepala Desa (Norman Akyuwen) semua bermain dengan dahsyat. Namun kalau harus memilih, Fuad Idris, Astri Nurdin, Ringgo Agus Rahman dan Osa Aji Santoso sedikit lebih baik dibanding yang lain, khususnya Osa raut wajahnya yang khas Indonesia serta postur yang kurus sangat mendukung jalan-nya cerita. Suasana muram di film ini terselamatkan oleh akting Ringgo Agus Rahman. Dialog cerdas, body language yang apik menunjukkan sentuhan Deddy yang kental. Meski sedikit tertekan dengan situasi jalanan Bandung, yang memerlukan tiga setengah jam untuk bisa keluar dari parkiran PVJ ke Sukajadi akibat traffic jam mobil2 Jakarta yang menuju Lembang, bagi saya film ini sangat layak ditonton dan menjadi bahan renungan.
No comments:
Post a Comment