Monday, February 18, 2013

Menjelek jelekkan bangsa sendiri

Pengantar : Tulisan ini merupakan satu dari sekian tulisan almarhum Ayah saya Saiful Parmuhunan Pohan, yang telah berpulang di bulan Juli tahun 2002, namun tulisan-nya yang mengalir, dan penuh dengan ide masih sangat relevan dengan kekinian. Saya dedikasikan bagi almarhum semoga bermanfaat bagi kita yang masih hidup dan menjadi amal baik bagi-nya di alam sana.

Salah satu ciri khas dari kelompok cerdik pandai adalah ketajaman dalam melihat berbagai kejanggalan dan ketidakberesan yang terjadi di masyarakat kita. Karena itu kelompok ini terus menerus melontarkan kecaman dan kritik ke arah penguasa sehingga kelihatan menjadi sangat rewel. Itulah salah satu sebab mereka tidak disukai penguasa.

Membeberkan kesalahan dan berbagai kejelekan, apalagi dimaksudkan untuk membuka mata mahasiswa  tentang baik dan buruk tentu tidak sama dengan menjelek-jelekkan . Menjelek-jelekkan adalah melipat gandakan kesalahan dan melebih-lebihkan kesalahan yang sebenarnya tidak pernah ada.


Para dosen, misalnya, dalam mengupas berbagai hal, tentang harga tanah yang hanya dihargai lima rupiah per meter,  tentang mampetnya demokrasi, berbagai pungli di meja-meja birokrat, bacaannya yang dirampok, prosedur yang tertutup dalam menyalurkan keinginannya  menjadi calon gubernur, aspirasi politik yang tidak tersalurkan, minimnya pendapatan dan kekalahan berebut tender dan berbagai keanehan dan keganjilan lainnya membuat pernafasan seakan-akan tersumbat menjengkelkan dan melelahkan.

Walaupun demikian tidaklah dapat kita klaim bahwa loyalitas kita kepada negara dan bangsa lebih tinggi dari mereka. Tidak tertutup kemungkinan bahwa loyalitas kita karena kebetulan kita sedang menikmati berbagai fasilitas dan kedudukan. Kesetiaan kepada negara dan bangsa tidak selalu sejalan dengan kesetiaan kepada pemerintah yang sedang berkuasa.

Seseorang yang mengidap lima buta,  buta keadilan, buta demokrasi, buta hati nurani , buta iptek dan buta lingkungan jauh lebih berbahaya dati tiga buta, buta aksara, buta bahasa dan buta angka. Sungguh tak dapat kita bayangkan betapa akibatnya bila penderita lima buta itu seseorang yang kebetulan pengambil keputusan. Tiga buta hampir tidak merugikan orang lain secara langsung kecuali dirinya sendiri.

Menerima kecaman dan kritik memerlukan jiwa kelapangan dada. Keterbukaan dan suasana dialogis yang kita dambakan membutuhkan dan kepala dingin  serta kesediaan melepaskan berbagai atribut dan sifat formal yang menyilaukan.

Sebuah kritik betapapun tajam dan destruktifnya, sejauh seorang tokoh mampu menggali manfaatnya tetaplah kritik membangun.

No comments: