Wednesday, February 27, 2013

Menyalip Iringan Gubernur Part #1

Kejadian ini sudah cukup lama, saat itu Ibu ku masuk RS Borromeus, Bandung karena serangan stroke, meski sebenarnya agak aneh, maklum Ibu termasuk orang yang tidak suka makan dan hobi puasa Senin-Kamis, namun ya begitulah tubuh yang kita pinjam dari Sang Maha Pencipta, akan ada saat-nya fungsi-nya menurun apalagi Ibu memang cukup sepuh dan lahir di 1936.

Mendengar kondisi Ibu yang tidak sehat, aku memutuskan untuk kembali ke Bandung dari Jakarta sekitar jam 15:00 sore, sayang jalan tol Cipularang menuju Bandung sangat padat dengan truk2, jadi aku tak bisa memacu Mitsubishi kesayangan, dan tak pernah bisa lebih cepat dari 80 km/jam, itupun sering2nya cuma bisa 60 km/jam. Sementara saat itu,  waktu menjadi begitu penting karena jika terjadi hal2 yang tak diinginkan, aku berharap masih bisa mendengar sepatah dua patah kata2 terakhir  dari Ibu (apalagi Ibu satu2nya orang tua ku, karena Ayah sudah lama meninggal).


Mendadak terdengar suara sirene meraung-raung  dari arah belakang, dan ketika aku melihat melewati spion, terlihat sebuah sedan polisi memimpin rombongan pejabat, dan meminta pengosongan jalur paling kanan. Lalu aku memilih pindah jalur sambil menunggu jalur kanan dapat dilewati lagi. Dan melintaslah setelah sedan PATWAL, sebuah Accord hitam dengan plat merah, lalu disusul tiga Kijang Innova hitam berpelat merah dan agak aneh karena setelahnya ada dua mobil yang sepertinya nempel numpang jalur, sebuah Honda Stream perak  dan Honda Jazz merah. Semua mobil tersebut menggunakan hazard, hemm melihat ada space kosong di belakang Honda Jazz, dengan segera aku mengambil posisi dan ikut menyalakan hazard.

Jalur langsung menjadi lebih lega, dan mobil pelan2 mulai dapat mencapai 120 km / jam. Meski kadang harus mendadak berhenti jika ada truk / bis yang terlambat mengambil jalur kiri. Tak berapa lama Honda Jazz keluar tol, lalu pada exit toll berikutnya menyusul Honda Stream, hemm jadi kini aku satu2nya “penumpang gelap” dalam rombongan tersebut. Menjelang km 66 rombongan ini aneh-nya melambat, sementara aku tak bisa menyalip (kecuali lewat bahu jalan) karena jalur kini cuma dua dan jalur kiri penuh dengan truk2 yang susah payah memulai pendakian 700 meter ke pegunungan Bandung.


Akhir-nya aku memutuskan untuk menyalip dari  kiri satu persatu, begitu ada space di kiri aku pindah jalur dan begitu jalur kanan kosong aku ambil jalur kanan, dimulai dengan Innova pertama, yang langsung disambut dengan rentetan klakson dan tembakan lampu jauh, namun aku tak perduli, perasaan ku mengatakan kepentingan ku saat itu jauh lebih penting daripada kepentingan pejabat tersebut. Lagipula ada plat  logo IDI (milik istri) di dashboard yang sewaktu waktu bisa aku tunjukkan jika terjadi sesuatu. Menyusul Innova kedua, dan lalu ketiga, dan akhirnya giliran Accord, semuanya terlihat emosi, dan rentetan klakson serta tembakan lampu jauh semakin menjadi jadi.

Kini aku persis di belakang sedan PATWAL, anehnya alih2 menghalangi, PATWAL justru mengambil jalur kiri, sehingga jalan didepanku terbuka lebar yang langsung aku respon dengan tancap gas kembali ke 120 km/jam. Saat melihat spion, aku kaget karena PATWAL menembak-kan lampu jauh dan malah meninggalkan rombongan pejabat yang dikawalnya di belakang. Lalu aku meningkatkan kecepatan sampai 140 km/jam, namun PATWAL terus mengejar dan menembakkan lampu jauh kembali, maka aku injak kembali pedal gas sampai  160 km/jam , PATWAL terus mengejar, melihat situasi menjadi aneh, aku mengeluarkan logo IDI dan melambaikan-nya keluar jendela, namun PATWAL tetap mengejar, maka aku ke jalur kiri, dan PATWAL langsung menyejajari mobilku, lalu  kaca kiri depan sedan PATWAL diturunkan dan muncul-lah moncong pistol hitam yang diarahkan ke jidat-ku, oleh seorang Polisi bertubuh kurus (sebut saja PK) sambil memberikan bahasa isyarat agar aku segera menepi. Saat itu rasanya kepalaku bagai di siram es, dan sekelebatan terbayang wajah istri dan anak2ku. Lalu aku memutuskan untuk cari aman, dan ambil bahu jalan serta berhenti.

No comments: