Dalam sebuah keluarga, tentu akan sangat ideal jika kita memiliki kakak, abang, adik perempuan dan adik lelaki. Tetapi hal ini hanya mungkin jika kita merupakan anak tengah, sebaliknya sebagian orang lebih nyaman menjadi anak sulung (karena bisa memerintah adik2nya) ataupun anak bungsu (karena disayang, meski kadang justru malah sering jadi korban saudara-nya yang lebih tua). Tentu saja posisi ini bukanlah pilihan tetapi lebih ke takdir. Aku sendiri memiliki abang, dan kakak, serta seorang adik setelah sempat jadi bungsu selama 5.5 tahun.
Kali ini aku ingin sedikit bercerita mengenai Abang Ucok. Saat aku masih kecil, aku cukup sering menjadi korban keusilan Abang, apalagi kebetulan saat kecil dia berkarakter cukup garang sebaliknya aku terlihat lembut (tetapi meski berwajah lembut Ibu selalu bilang dari semua anaknya akulah yang paling keras kepala). Setelah kami lebih dewasa maka Abang Ucok menjadi sahabat terbaik yang aku miliki, antara lain karena hobi kami yang sama, seperti menggambar, main musik (kolintang, gitar), photography, mendengarkan musik (progressive, rock, dan blues), membaca (karya Kho Ping Hoo, Karl May, Eiji Yoshikawa, Henri Charrière, Arthur Conan Doyle, Ian Fleming atau komik2 seperti Gundala, Maza, Godam, Laba Merah, juga karya2 Jan Mintaraga, Teguh Santosa, Wid NS, dll), nonton konser musik atau juga nonton film dan belanja buku komik bekas. Setelah kami masing2 menikah, pelan2 intensitas hubungan persahabatan kami menurun, meski demikian dalam acara2 keluarga kami masih selalu mengingat kenangan masa kecil tersebut dan topik2 di masa itu masih menjadi obrolan yang hangat diantara kami.
Abang Ucok, memiliki IQ yang tinggi dan sudah masuk genius meski di level awal, mungkin itu sebabnya pola pikir dia kadang sulit dimengerti oleh orang lain. Dia juga memiliki jiwa eksperimental yang sering sekali dia lakukan secara spontan. Abang pernah meloncat ke dalam sungai hanya karena melihat bebek berenang, dan berpikir dia bisa melakukan hal yang sama. Abang juga pernah memaksa aku minum air sebanyak-banyak-nya hanya karena melihat aku pipis dan ingin membuktikan apakah yang terjadi ketika seseorang minum sambil pipis. Abang juga punya hobi menggambar di dinding, dan kalau tidak cukup di dinding sebelumnya dia tulis kalimat seperti ini “bersambung ke dinding sebelah”. Eksperimen Abang lain yang aku ingat adalah saat belajar sepeda Abang berpendapat, bahwa seseorang baru dapat dikatakan mahir jika bisa membonceng, maka aku dijadikan kelinci percobaan dan tak lupa ia mengikat kedua kakiku ke batang sepeda agar tidak terjepit ruji2 serta bagian dari penerapan prinsip HSE, malang tak dapat ditolak, baru saja sepeda meluncur, Abang kesulitan mengendalikan sepeda, maka dalam kondisi kritis dengan sigapnya dia meloncat (bagaikan kapten kapal Costa Concordia kabur dari kapal-nya) dan membiarkan aku terhempas ke aspal dengan kaki terikat tak berdaya. Ketika masih di jalan Nilem, Bandung, saat berumur 4 atau 5 tahun kata Ibu, Abang sering keluar jalan sambil menggengam batu untuk melempari anak2 SD yang pulang sekolah, dia juga pernah mengigit tangan Kak Eli sampai daging lengan-nya nyaris copot 4cm2.
Saat kecil, kami sering sekali bertengkar, misalnya karena rebutan menjadi tokoh Batman, sedangkan aku tentu saja tak mau jadi Robin, lalu dia memukulku hingga menangis. Begitu juga suatu masa kepalaku berdarah karena ulahnya, dan Ibu yang sudah mulai pusing melihat kedua anak lelaki-nya terus menerus bertarung, akhirnya memutuskan akan menitipkan Abang ke adik perempuan-nya di Padang Sidempuan. Tetapi sambil menangis aku memohon ke Ibu agar abang tidak dibawa ke Padang Sidempuan, meski saat memohon luka dikepalaku masih mengeluarkan darah (maklum bagaimanapun dia satu2nya abangku) . Suatu saat saat Abang sedang dalam periode pemulihan setelah khitanan, sedangkan kami menggunakan tempat tidur bertingkat dengan posisiku di bagian atas. Tahu kalau dia sering mengeluh kesakitan karena tempat tidur bergoyang, maka aku dengan sengaja turun naik lebih sering. Karena dia tidak berdaya, dan hanya bisa mengancam lewat kata2 maka aku menjadikan momen itu sebagai saat pembalasan, dengan menggoyang2 kan tempat tidur sekuat tenaga bahkan dengan dua tangan, sampai dia menjerit jerit memanggil Ibu.
Kami mulai akrab setelah berkelahi secara fisik untuk terakhir kalinya, ketika aku SMP kelas dua dan abang SMA kelas dua, karena badanku mulai besar, maka aku mulai berani membantah dan bahkan menantang Abang, saat kami mulai pukul2an, Ayah datang melerai. Setelah kejadian itu hubungan kami menjadi sangat erat. Saat aku mengalami masalah di Sekolah karena sering terlambat, jarang masuk, mulai merokok serta menilep uang sekolah untuk membeli kaset musik rock, Abang lah yang datang bertemu dengan Guru BP di sekolahku. Kami juga kadang bertukar hadiah seperti saat aku memberikan dia kamera Pentax SLR sebagai hadiah, sebaliknya dia memberi aku gitar listrik buatan Korea dan efek BOSS.
Kami juga memiliki kenakalan bersama khas anak2 lelaki, seperti mencuri buku dari kios komik tetangga, ataupun mengintip pembantu mandi (meski untuk yang ini, saat itu tinggi badanku masih kurang, dan akhirnya tidak bisa melihat apapun) sehingga berteriak teriak minta diangkat, dan Abang akhirnya gagal karena ketahuan ngintip, atau mungkin juga itu merupakan intervensi Allah sehingga kami terhindar dari perbuatan dosa. Saat film akhir pekan di TVRI untuk 17 tahun ke atas, kami sengaja pura2 tidur di kamar papa yang kebetulan lubang kuncinya menghadap ke TV dan nonton bergantian melalui lubang yang sama. Kami juga pernah terobsesi ingin merokok seperti Ayah, lantas menggunakan kertas koran, membakar dan mengisapnya begitu saja, dan lantas terbatuk batuk dengan mata perih dan dada terasa sangat sesak. Tetapi puncak petualangan kami adalah kabur dari rumah setelah Abang dimarahin Ibu, lalu setelah memecah tabungan Abang, kami pergi ke Lila Buana (yang saat itu di Denpasar merupakan pasar malam dengan berbagai jajanan seperti kacang rebus, martabak, buku, dll). Saat menjelang pasar malam mulai sepi dan aku merengek pulang, maka pelarian itu berhenti sampai disitu saja, aku kira Abang menyesal membawa aku kabur, karena pelarian itu tak berubah menjadi petualangan. Sementara tak banyak yang tahu tuduhan Ibu ke Abang, saat itu sebenarnya sepenuhnya karena keusilanku menganggu adik sepupu kami yang berlibur dari Surabaya.
Saat kuliah karena nama “Ucok” konotasi-nya nakal atau mungkin saja Ibu terinspirasi dari tokoh super usil “Si Utjok” karya Augustin Sibarani, maka dengan upacara sederhana ala adat Batak (upa upa) Ibu mengganti nama panggilan-nya menjadi “Budi”, bersamaan dengan itu nama panggilanku juga berubah dari “Ade” menjadi “Lukman”. Namun sepertinya nama panggilan baru ini kurang cocok baginya, lalu akhirnya selang beberapa tahun kemudian oleh Ibu dikembalikan lagi ke “Ucok”. Menyelesaikan SD di SDN 11 Sibolga, Abang melanjutkan ke SMPN1 Denpasar, sempat setahun di SMA 3 Denpasar, lalu kami pindah ke Bandung, dan Abang akhirnya lulus dari SMA 13 di Bandung. Sempat diterima di beberapa universitas seperti Seni Rupa ITB, Politeknik Mekanik Swiss, Sastra Jepang IKIP Bandung, tetapi dia memilih Ekonomi Universitas Padjadjaran lalu bekerja di salah satu Bank Pemerintah, dan akhirnya mengambil program Master sandwich UGM dan Kentucky State, Amerika, demikianlah kisah Abang ku.
No comments:
Post a Comment