Monday, February 20, 2012

Sekali Peristiwa di Banten Selatan - Pramoedya Ananta Toer

Buku ini pertama kali diterbitkan di 1958, tujuh tahun setelah “Bukan Pasar Malam”. Mengingat buku ini pernah diterbitkan Lekra di 1959, sepertinya memang ada modus tertentu dari sudut pandang Lekra untuk menerbitkan ulang buku ini dan bukannya buku seperti “Bukan Pasar Malam”. Temanya yang berhubungan dengan perlawanan rakyat sepertinya cocok pada masa itu untuk diangkat. Sedangkan “Bukan Pasar Malam” sepertinya terlalu religius dan melankolis bagi Lekra dan mungkin justru bertendensi melemahkan perlawanan.



Format-nya sendiri cukup unik, yaitu gabungan antara novel dan skenario. Saya pribadi kurang suka format skenario karena rasanya kita tidak berhadapan dengan dunia nyata, tetapi dunia sandiwara. Namun demikian karena masih menyisakan gaya penulisan novel, buku ini tetap enak dibaca. Cara bercerita Pram yang tidak menggurui dan memosisikan pembaca sebagai  bagian dari cerita membuat kita terus menerus penasaran dengan akhir cerita. Memang salah satu kelebihan Pram sebagai “pencerita “ membuat situasi yang memaksa pembaca memiliki pandangan sendiri.
Ceritanya bermula dari hasil reportasi singkat Pram di wilayah Banten Selatan yang subur namun rentan dengan penjarahan dan pembunuhan. Tanah2 rakyat di rampasi oleh tuan tanah saat terjadi pengungsian, yang mana para pengungsi  tanpa sadar mau saja menempelkan jari sebagai cap asal bisa meninggalkan daerah-nya, dan saat kembali baru mereka menyadari kalau cap tersebut adalah tanda serah terima atas tanah yang mereka tinggalkan.

Pada saat itu gerombolan DI banyak melakukan pencegatan, pembakaran rumah, pembunuhan dan penculikan, dalam kisah ini digambarkan tokoh Juragan Musa yang anehnya tak pernah di ganggu DI. Suatu saat Juragan Musa konflik dengan Ranta, yang meski orang kecil namun berwatak keras dan pemberani. Marah karena dikerjain dan dijebak oleh Juragan Musa serta rumah-nya dibakar, maka Ranta memberanikan diri untuk melaporkan kecurigaan penduduk kalau Juragan Musa adalah salah satu petinggi DI ke Komandan Tentara setempat. Sang Komandan setempat segera menindak lanjuti laporan tersebut dan menggalang kekuatan dengan bantuan Ranta.

Untuk lebih memberdayakan masyarakat, Komandan yang kekurangan prajurit akhirnya memilih Ranta menjadi lurah, yang akhirnya dapat menggalang kekuatan rakyat untuk melawan grombolan DI. Ranta yang meski tidak bisa membaca akhirnya dapat diterima sebagai pemimpin, dan walau dengan senjata ala kadarnya, dalam beberapa kali pertempuran dapat mengalahkan gerombolan dan menyadarkan masyarakat bahwa jika bersama sama, apapun akan dapat kita lakukan. Bagaimana Ranta mengatur strategi tempur memberikan kesan bahwa Pram menggunakan latar belakang-nya sebagai tentara untuk menggambarkan-nya, sehingga terkesan realistis.

Cerita berakhir dengan “happy ending”, dimana Ranta akhirnya dikukuhkan sebagai lurah baru, penduduk menyadari penting-nya kerja sama, istri Juragan Musa bahkan kembali dari pelarian, menyadari kesalahan suaminya dan bersedia mengajarkan para wanita di desa membaca. Kalimat yang menarik  dalam buku ini adalah “Dimana mana aku selalu dengar, yang benar juga yang akhirnya menang. Itu benar. Benar sekali. Tapi kapan ? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar”.

 

 

No comments: