Suami ku berasal dari Sipirok, bermarga Pohan Simandjuntak, sembilan bersaudara, dari keluarga pengusaha dengan tiga anak laki-laki dan enam perempuan, dimana suamiku merupakan anak kelima dengan empat adik perempuan. Dia menyelesaikan SMA-nya di Yogya, dan meminangku saat dia sudah menjadi pegawai di PTT, Pos Telepon dan Telegraph di Bandung (sekarang PT POS Indonesia).
Kami berkenalan di bulan April, tahun 1957 dua minggu setelah kakak perempuanku menikah dengan pemuda pilihan orang tuaku. Suatu hari aku datang ke rumah mereka yang berlantai tiga, atas undangan adik perempuan-nya Mayurida yang merupakan teman karibku sejak SD sampai SKP . Saat aku dan Mayurida serta saudara perempuan-nya duduk2 di ruang keluarga, suamiku muncul dengan mengenakan piyama, saat itu dia menghampiri dan bertanya siapa namaku, tapi aku begitu malunya sehingga hanya mampu menjawab “tidak tahu” sambil memelintir ujung taplak meja, lalu dia bertanya apa pekerjaanku, dan “mengajar Bang” jawabku. Lalu sambil tersenyum manis dia bertanya apakah aku mau ikut ke Bandung bersamanya, aku tak menjawab dan menahan malu yang sangat. Sebagai gadis pingitan hal itu merupakan percakapan yang sangat luar biasa bagiku. Beberapa hari kemudian kemudian dia kembali ke Bandung dengan membawa “hatiku” bersama-nya.
Kedua abang suamiku, yaitu Maradjo dan Oloan, menikah di Jawa, sehingga mertuaku sangat kecewa dan sangat ingin anak lelaki-nya yang terakhir dapat menikah di Padang Sidempuan. Apalagi posisi mertuaku yang saat itu merupakan ketua adat Angkola (dimana Sipirok kampung suamiku merupakan bagian dari Angkola) menyebabkan banyak pertanyaan dari penduduk setempat karena belum pernah menikahkan anak lelaki-nya di kampung sendiri. Karena itu dia memerintahkan semua anggota keluarga mencari calon terbaik, dan aku ternyata adalah calon Mayurida. Pada awalnya mertuaku mengharuskan marga Siregar sebagai calon suamiku sebagaimana istrinya sendiri, namun sejak bertemu dengan ku, Suamiku sudah mantap dengan pilihan-nya sendiri. Namun mertuaku menolak untuk melamar saat itu juga, karena kedua orang tuaku baru saja menyelenggarakan pernikahan kakak-ku dua minggu sebelumnya, sehingga istilah-nya “bahkan belum semua piring dan gelas sempat dibersihkan”.
Ketika suamiku dipilih sebagai ketua utusan olah raga Jawa Barat dalam pekan olah raga Pos dan Giro di Medan, dia menyempatkan diri beberapa hari kembali ke Padang Sidempuan menuruti perintah Ayah-nya untuk menikah dengan gadis dari kampung halaman-nya sendiri.
Saat bertemu pertama kali, rambutku panjang sampai ke betis, dan saudara perempuan-nya sempat memainkan rambutku saat aku bertemu suamiku untuk pertama kali. Suamiku menegur saudara perempuan-nya untuk tidak menjadikan rambutku sebagai mainan, dan belakangan dia mengakui dia sudah jatuh cinta saat melihat rambutku yang panjang, lebat dan hitam. Begitu juga dengan aku yang sejak itu selalu teringat padanya.
Beberapa hari kemudian saat aku kembali berkunjung ke rumah Mayurida, suamiku sudah pulang ke Bandung, aku melihat beberapa kertas dalam keadaan kusut yang ternyata berisi tulisan tangan suamiku saat berusaha membuat surat bagiku, dan isinya sempat membuatku semakin yakin dialah kelak yang akan menjadi suamiku.
Pada bulan Agustus tahun 1960 suamiku datang lagi, dan dia datang saat maghrib untuk mengenalku lebih dekat (Saat itu di daerah kami, kedatangan pria kerumah seorang gadis bukanlah hal yang biasa, akan tetapi suamiku sepertinya terbiasa dengan tradisi di Yogya dan Bandung) , dan tetap berbincang bincang meski adzan sudah menggema, masa masa ini Ayah sangat tidak menyukai suamiku, disamping agama-nya yang dinilai “kurang” suamiku juga seperti kebanyakan orang asal Sipirok, berkulit gelap dan “jelek”, dan Ayah kadang membanting pintu untuk menujukkan ketidak sukaan-nya.
No comments:
Post a Comment