Monday, February 27, 2012

Dreams of My Father - Obama

Bagi saya buku ini sangat tidak terduga, Obama memilih untuk blak2an termasuk sisi gelap dalam kehidupan remaja-nya saat menggunakan ganja ataupun mabuk2an sampai pagi dengan teman2-nya. Saya rasa ini mungkin topik “penggunaan ganja” yang juga pernah diangkat presenter nyeleneh Panji, dan akhirnya memicu jubir Presiden SBY ikut mengomentari Panji. Obama sendiri menyampaikan bahwa buku ini diperlukan untuk memberikan gambaran yang "benar" dan dibuat sendiri oleh Obama, untuk menangkis kampanye negatif tentang sosok Obama.

Obama juga menyinggung kehidupan masa kecil-nya di Indonesia, rumah-nya yang bagai kebun binatang lengkap dengan buaya dan kera. Ayah tiri-nya yang galau dan sering bangun malam sambil minum whiskey, serta tak lupa rasa daging anjing, serangga goreng, ataupun kesukaan-nya akan buah rambutan dan tidak dapat berhenti sebelum sakit perut. Permainan masa lalu di Jakarta seperti sepak bola, layangan, badminton ataupun mengikat ekor capung dengan seutas tali, tak lupa diceritakan juga oleh Obama. Bahkan bukan cuma hal itu, jalan yang macet dan pengemis ada dimana-mana juga merupakan sepotong kenangan tentang Indonesia yang terus melekat dalam sanubari Obama.  

Meski ditinggal Ayah-nya selagi kecil, namun Obama akhir-nya dapat bertemu Ayah kandung-nya, saat ybs berkunjung ke Amerika untuk berobat. Obama pun akhirnya mengetahui bahwa Ayah-nya menikah lagi dan memiliki 5 anak sekaligus saudara tiri Obama di Kenya. Interaksi di saat dewasa ini berlangsung dengan tidak mudah. Perasaan asing dan kecewa dengan Ayah kandung-nya dan terutama karena ditinggal sejak kecil membuat Obama bersusah payah menerima kehadiran sosok tersebut. Namun sebelum intensitas hubungan mereka membaik, Obama harus menerima kabar kalau Ayah-nya meninggal dalam usia 51 karena kecelakaan lalu lintas setelah kembali ke Kenya.

Kejutan juga bagi saya menyadari friksi rasial masih terjadi di Hawaii, yang notabene secara ras cukup beragam dibanding kebanyakan daerah di Amerika dan dialami Obama saat kembali ke rumah nenek dan kakek-nya sepulang dari perjalanan dari Indonesia. Terlihat juga bagaimana Obama kesulitan menempatkan diri-nya sebagai kulit berwarna yang memiliki latar belakang unik, kakek dan nenek dari pihak Ibu kulit putih meski juga juga diwarnai dengan darah Indian Cherokee, ayah muslim Kenya dan ayah tiri Indonesia, dan adik satu-satunya yang juga berdarah separuh Indonesia.



Saat2 beberapa teman-nya terjebak obat2an dan ditangkap polisi, sementara Obama sendiri masih galau akan masa depan-nya, Ibu-nya yang sedang disibukkan dengan kegiatan mencari nafkah dan kembali kuliah berusaha untuk secara intensif berdiskusi dengan satu2nya anak lelaki-nya. Bab soal ini mengingatkan saya akan perjuangan seorang anak lelaki untuk menjadi dewasa, seperti yang saya alami dengan anak saya sendiri dan juga mengingatkan saya akan David Gilmour dalam buku-nya "Klub Film".

Semakin kesini buku ini menjadi semakin menarik, dan bab mengenai Auma, yaitu kakak Obama dari istri pertama Ayah-nya menjadi awal-nya, kemudian pertemuan dengan Roy abang tirinya yang masih menyimpan kekecewaan pada Ayah mereka, lalu puncaknya adalah perjalanan ke Kenya, dimana Obama menemui istri lain dari Ayah-nya, Bibi-nya, Paman-nya, dan lain2. Obama merasa menemukan akar dari kehidupan-nya yang seakan akan lepas saat di Amerika. Lalu dia mulai mencoba belajar tentang penyebab kisah hidup Ayah-nya yang penuh onak dan duri meski meraih gelar Doktor, dan berharap dapat menemukan jalan yang lebih baik untuk survive.

Selain Bab tersebut, pada bab "Mata Biru Ruby", ada hal yang dapat kita jadikan inspirasi, yaitu pada saat Obama menjadi aktivis di Altgeld Gardens, Chicago. Obama berkisah tentang perjuangan, yaitu tentang Mrs. Stevens seorang aktivis kesehatan yang mengalami masalah penglihatan karena katarak. Pada waktu itu ia bekerja sebagai sekretaris, akan tetapi karena kuatir dipecat sedangkan mencari pekerjaan lain dengan mata yang nyaris buta hampir2 tidak mungkin, dia menyelinap ke kamar mandi setiap kali harus membaca memo atasan-nya dan dengan kaca pembesar dia lalu menghapalkan setiap baris agar bisa diketik. Lalu dia terpaksa bekerja sampai malam untuk menyelesaikan laporan yang harus siap keesokan paginya. Dengan cara ini tak seorang pun tahu bahwa dia nyaris buta selama setahun, lalu dengan gaji yang dia hemat selama setahun itu dia menjalani operasi untuk memulihkan mata-nya.

Fokus utama buku ini adalah bab yang menceritakan saat "kepulangan" Obama ke Kenya. Dalam salah satu bab, Obama bertemu tetua yang tahu persis sejarah Suku Luo. Tetua tersebut juga bercerita asal mula datang-nya kulit putih yang pada awal-nya hanya mereka duga sebagai pedagang sebagaimana orang2 Arab yang pada masa itu yang berdagang sampai ke Kenya.  Lambat laun para pedagang kulit putih, mulai menguasai tanah, memberlakukan mata uang dalam perdagangan dan memungut pajak. Mereka juga membayar preman2 lokal Luo yang menjadi centeng mereka, Lalu lebih banyak lagi senjata yang masuk, dan penduduk yang melawan dipukuli atau ditembak, serta rumah-nya dibakar. Namun demikian kepulangan Obama ke Kenya ini membuat Obama seakan terlahir kembali dan memiliki identitas yang lama hilang saat ia berada di Amerika.

Buku ini ditutup dengan pernikahan Obama, dan bagaimana abang tiri-nya justru menjadi salah satu bagian paling penting dalam upacara tersebut hadir dan turut men"support" Obama. Memeluk Islam membuat abang tiri-nya mengubah nama dari nama barat (Roy) menjadi nama Kenya (Abongo) dan memberikan harga diri serta landasan yang kuat bagi takdir-nya sebagai kulit hitam. Bahkan begitu dekatnya Abongo pada nenek Obama dan Ibu-nya sehingga ia menganggap mereka sebagai ibu-nya sendiri, dan mereka pun sebaliknya menganggap Abongo sebagai anak sendiri. Kalimat terakhir Obama terkait momen pernikahan, dan dukungan abang tiri-nya sangat berkesan dan mengakhiri semua kebingungan akan identitas Obama dengan "Saat itu aku merasa menjadi orang paling beruntung di Dunia".

No comments: