Saat zaman Jepang itu, rasanya masih terpatri dalam ingatan ketika bersama nenek, aku menyusuri sungai kecil dengan air yang sangat jernih menuju puncak gunung, sambil mengambil berbagai macam tumbuhan untuk bahan sayur seperti daun pakis, rebung dan jamur. Nenek membawa anyaman tali (durung=sejenis saringan bertali), lalu aku diminta Nenek mengusir udang dari sisi yang satu dan Nenekku menangkap dari sisi yang lain. Udang sungai ini meski kecil2, tapi sangat gurih dan kulitnya tipis sehingga tidak perlu dikupas. Karena sulit mencari kelapa, sedangkan masakan di daerah ini kebanyakan menggunakan “gulai”, sebagai pengganti Santan di daerah ini, mereka menggunakan kemiri, yang digiling halus, dan dimasukkan ke masakan yang mendidih.
Saat kami menelusuri sungai itu, suara pukulan para petani aren, sedang memukuli tangkai bunga aren sampai dengan lemas, agar mudah mengalirkan nira-nya terdengar sayup sayup. Pada masa itu orang2 yang kehausan di hutan diperbolehkan untuk mengambil nira tsb, asalkan memberi tanda misal puntung rokok, untuk menandakan bahwa si pengambil bukan lah pencuri dan juga bukan binatang.
Ada beberapa tumbuhan yang cukup aneh di tempat ini, salahnya satunya seingatku berbatang lurus tinggi, berbuah berbentuk jeruk, dengan ukuran sukun, yang kalau dikupas seperti nangka berwarna putih akan tetapi permukaan-nya memiliki semacam duri yang tidak tajam, kami menamakannya simarudon-udon (udon = periuk, karena bentuknya yang seperti periuk).
Selain itu ada juga tumbuhan yang dinamakan Siala Tanah, yang dikenal sebagai tumbuhan kegemaran Harimau karena rasanya manis. Diluar Roburan yang kami kenal adalah Siala biasa yang tidak tumbuh di dalam tanah dan berasa kecut. Dalam adat kami biasanya hubungan antar saudara diharapkan erat bagaikan Siala.
No comments:
Post a Comment