Wednesday, February 08, 2012

Pram Melawan - Sirait Bersaudara dan Rin Hindrayati

Buku ini mengingatkan saya akan tetralogi Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa dan Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer. Membaca masterpiece Pram terbitan Hasta Mitra ini, saat itu sangat-lah mengasikkan, sambil diiringi album Jon Anderson bersama Yes, saya berkelana ke masa lalu, saat Bogor masih bernama Buitenzorg, berkenalan dengan tokoh seperti Minke, Annelies Mellema, Nyai Ontosoroh, dll. Saking berkesan-nya momen tsb bahkan sampai sekarang mendengar track “Soon“ dari suara malaikat Jon Anderson selalu membuat saya terkenang akan tragisnya hidup Annelies Mellema.



Sejak membaca Tetralogi itulah  saya mengerti kenapa Pram mendapat 12 penghargaan seperti dari Amerika (PEN Award), dan dari Filipina (Ramon Magsaysay) serta bahkan sempat menjadi kandidat Nobel. Beberapa karya-nya yang lain “Nyanyian Sunyi” dan “Gadis Pantai” juga meraih kesuksesan dan sempat akan dibuat film-nya oleh pihak asing. Belasan tahun di pengasingan justru kesempatan bagi Pram untuk membuat karya luar biasa yang bahkan bisa disetarakan dengan Dostoyevsky sekalipun. Salah satu kekuatan Pram adalah data sejarah yang dia gunakan sangat kaya, sehingga tokoh2 tersebut seakan akan benar ada dan terlihat begitu hidup. Hobi-nya mengumpulkan buku dan kliping sangat membantu dalam memberikan latar belakang bagi buku2-nya.

Buku sekitar 500 halaman ini merupakan petikan wawancara, yang sebagian besar berisi tanya jawab antara suami istri Hasudungan Sirait - Rin Hindrayati serta adik Hasudungan yaitu Rheinhardt Sirait dengan Pram yang dilakukan selama bertahun tahun. Dibuka dengan kata pengantar yang menarik oleh Hasudungan Sirait, terlihat sekali watak Pram yang keras dan tanpa kompromi dalam wawancara tersebut. Pilihan Hasudungan sendiri untuk mengutip apa ada-nya adalah hal yang justru menjadi daya tarik tersendiri, karena pemilihan kata yang dilakukan Pram jadi terlihat secara jelas.

Meski atheis, istri Pram justru seorang Hajjah, dan ibu-nya bahkan seorang islam yang sangat disiplin dalam beribadah. Beliau juga mengutip kalimat religius “Jika seseorang tidak tahu dari mana dia datang, bagaimana dia tahu mau kemana akan pergi” ketika menjelaskan penting-nya sejarah, atau mengutip surat Iqra yang menjelaskan penting-nya membaca, Pram tetap bersikeras tidak mengakui eksistensi Tuhan. Uniknya saat pemakaman pun, beliau justru di makamkan secara islam.

Dalam buku ini Pram tetap bersikukuh kalau dia bukanlah bagian dari PKI, dan keterlibatan dia dalam Lekra lebih karena “kecelakaan” dan dicantumkan begitu saja tanpa dia sendiri pernah meminta. Akan tetapi dia mengakui kalau dia sangat aktif, keras dan vokal dalam Lentera yang meski awalnya cuma sisipan dari Koran Bintang Timur, namun akhirnya justru malah lebih terkenal dari induknya. Pram mengatakan “serangan” yang dia lakukan tidak lebih merupakan interpretasi atas sikap keras Soekarno yang memang panutan-nya ke pihak barat. Berkali kali Pram mengutip kalimat “Go To Hell with Your Aids”.  Pram juga mengeritik PKI yang dia sebutkan salah strategi dengan menggunakan “sama rata sama rasa” karena bagi Pram tidak mungkin kita menyamakan penghargaan antara yang berprestasi dan yang tidak berprestasi. Bagi Pram kiri bukan lah komunis, tetapi justru keberpihakan pada rakyat yang umun-nya petani tanpa tanah.

Kebencian-nya terhadap Soeharto luar biasa, bahkan juga merembet ke Nasution. Berkali kali dia menyebut bagaimana “licik”-nya Soeharto yang mengabaikan perintah Soekarno dengan melakukan transaksi dagang dengan Singapura, meski sempat diadukan oleh Soebandrio ke Soekarno. Pram juga menyesalkan pemaafnya Soekarno dan tidak adanya keputusan yang jelas terhadap kesalahan Soeharto dan bahkan diberi kesempatan untuk pendidikan lanjutan sebagai ganti-nya hukuman. Pram juga berkali kali menyampaikan kekaguman-nya pada Soekarno, tetapi sebaliknya Pram sangat sinis ke Megawati yang di sebutkan nya sebagai hanya “anak biologis”  semata tetapi sayangnya bukan “anak ideologis”. Pram juga tidak menutupi kebencian-nya pada Angkatan Darat yang dia anggap tak ubahnya kasta priyayi dalam masyarakat Jawa, meski dia merupakan mantan tentara.

Dia juga mengeritik keras Amerika yang dia sebut sebagai negara teroris sebenarnya, dengan kaum Indian sebagi contoh korban-nya. Pram juga menuduh demokrasi bagi negara2 barat hanya berlaku bagi dirinya sendiri, sementara keluar mereka memunculkan kolonialisme dan pemerasn. Tapi uniknya Pram juga cukup fair ketika mengatakan saat dia dilecehkan dalam negara-nya sendiri, justru Amerika lah yang pertama tama memberikan penghargaan.

Pram juga mengungkapkan kebencian-nya terhadap “Jawa” yang dia tuduh tak lebih dari kebudayaan priyayi dan cenderung berpihak pada kekuasaan dengan menindas rakyat. Meski Pram sendiri berdarah Jawa dia menganggap dirinya sudah berpisah dengan “Jawa” khususnya sejak dia mendalami Bahasa Indonesia yang dia nilai lebih ekspresif dan egaliter dalam mengungkapkan banyak hal. Saat usia 16 tahun, Pram sudah memutuskan tidak lagi menggunakan bahasa Jawa yang dia nilai tidak demokratis dan berjenjang. Akan tetapi Pram juga kecewa dengan penggunaan Bahasa Indonesia yang dia nilai mandek dan justru paling maju saat penjajahan Jepang, serta beberapa kali menyatakan bahwa tugas kitalah menjaga Bahasa, seraya menyampaikan bahkan untuk kata "adil" dan "hukum" saja kita berhutang pada Bahasa Arab. Untuk ini dia berterima kasih pada guru-nya Mara Sutan, yang berhasil membangkitkan potensi Pram. Di lain pihak dia menyatakan kekagumannya terhadap suku Batak yang dia nilai sangat maju dan banyak menduduki posisi penting meski perkenalan dengan budaya modern baru mencapai 100 tahun serta Aceh yang dia anggap sebagai suku pemberani dan tak kenal menyerah.

Ini buku yang menarik, dan penerbit Nalar tak semestinya memberi kesan seakan akan topik seks sesuatu yang perlu ditonjolkan dalam memasarkan buku ini, karena sebagaimana buku2 Pram yang jauh dari hal2 seperti ini, porsi diskusi tentang seks dalam buku ini juga sangat minimal. Bahkan Pram sendiri terkesan “malu” dalam menceritakan hal2 seperti ini. Justru yang perlu lebih diangkat adalah tentang banyak hal lain, mulai sastra, kebudayaan, keluarga, sosial, dan juga pengalaman belasan tahun terisolasi di pulau Buru.

No comments: